Minggu, 01 Agustus 2010

Writing Extra: Nama Pena

Hai! Setelah lama nggak menulisi blog ini, gue kembali. Hohoho...

Topik yang akan gue bahas kali ini adalah nama pena. Tentunya, kalian semua menduga--kalau tidak meyakini--bahwa gue tidak dilahirkan dengan nama Ima Marsczha. Orangtua gue nggak sekreatif itu.

Nama lahir gue cukup--kalau bukan sangat--panjang. Terdiri dari 4 kata, tidak termasuk nama marga. Oh, yeah... Gue punya darah Batak. Sewaktu ditelpon oleh penerbit dengan kabar gembira bahwa naskah gue akan diterbitkan sebagai novel, gue juga dikasih tahu bahwa penerbit tidak mungkin menuliskan nama lahir gue di sampul novel. Sederhana, nama itu terlalu panjang. Mereka minta gue memotong sendiri nama itu atau mencari nama lain untuk dijadikan nama pena. Atau, mereka akan memberi gue nama pena.

Jadi, kenapa Ima Marsczha? Ima itu nama panggilan gue di rumah. Dan, sempat terpikir untuk pakai kata Dewi yang memang adalah kata kedua di nama lahir gue, sekaligus sebagai penghargaan kepada nyokap gue yang bernama Dewi. Tapi, seperti yang kalian sudah tahu, sudah banyak sekali orang yang bernama Dewi. Dewi Sandra, Dewi Gita, Ayu Dewi, Sandra Dewi. And I don't like to be common. Jadi, gue menengok kembali ke nama lahir gue.

Marsczha gue ambil dari kata terakhir di nama lahir gue. Sebenernya, gue cuma ambil 5 huru pertama dari kata yang punya 10 huru itu: Marsa. Setelah itu, gue mencoba untuk membuat email address dengan nama itu. Tapi, ternyata ID itu udah taken. Akhirnya, gue tambahin satu huru jadi Marsha, tapi taken juga. Gue tambahin lagi jadi Marscha, taken juga. Tapi, gue berhasil mendapatkan marsczha@yahoo.com. Jadilah, nama itu yang gue kirim ke penerbit.

Sebetulnya, nggak ada aturan yang mengharuskan pemakaian nama pena. Gue sendiri memakai nama pena atas anjuran penerbit karena nama gue yang terlalu panjang itu. Selain itu, keuntungannya adalah kita bisa tetap punya privasi dalam banyak hal dimana kita mencantumkan nama lahir kita, misalnya rekening bank dan paspor.

Meskipun nggak harus punya, tapi memilih nama pena sangat seru, terutama buat gue. Seperti yang kalian tahu, nama lahir kan pemberian orangtua. Dan, seiring dengan kita menjadi dewasa, kita pasti membentuk kepribadian yang berbeda dengan kita saat dilahirkan. Nah, nama pena bisa disesuaikan dengan kepribadian dewasa kita. Jadinya, sewaktu mencari nama, kita juga sekalian sambil mencari jati diri. Yah... Gue bingung dengan penjelasan barusan. Tapi, mudah-mudahan kalian enggak.

Nah, begitulah bahasan gue kali ini. Ketemu lagi di topik baru nanti, ya?

Kamis, 04 Maret 2010

Writing Extra: ‘Sesuap Nasi’

Hello.

Sudah beli ‘Be A Writer, Be A Celebrity’-nya Andrei Aksana? Belum? Nggak pa-pa. Yang lebih penting dari itu adalah keep writing!  Pengalaman menjadi guru terbaik gue dalam mengajarkan bahwa semakin lama rehat yang kita ambil dari menulis, maka semakin lama dan semakin parah pula writer’s block yang kita alami. So, keep writing! Nggak penting apakah lo menulis sesuatu yang penting atau enggak, yang penting jangan berhenti menulis.

Post gue kali ini akan membahas sisi yang biasanya dihindari orang, yaitu keuangan.

Seorang sahabat gue—yang baru-baru ini gue ketahui bermimpi jadi penulis juga—pernah bertanya soal ini. Katanya, orangtuanya nggak mau dia melakukan pekerjaan yang nggak bisa bikin dapur tetep ngebul. Jadi, dia berusaha untuk mencari tau dulu, seberapa banyak sih yang bisa dihasilkan seseorang dengan mengabdikan diri menjadi penulis.

Mm… Nggak banyak, terutama di Indonesia, penulis yang adalah full-time author. Setau gue, sebagian besar justru adalah pecinta menulis yang menulis ketika tidak bekerja. Yang full-time author, biasanya juga adalah full-time housewife. Kalau kasusnya begitu, jelas dia tetep bisa bikin dapur ngebul selagi mengabdikan hidup pada kecintaan terhadap menulis.

Yang jelas, penulis novel mendapat royalti sebesar 10% dari harga penjualan buku, dipotong pajak. Pajaknya 15% dari berapa pun yang dia peroleh. Waktu pembayaran bisa berbeda antara penerbit yang satu dengan penerbit yang lain. Ada yang setiap bulan, ada yang per enam bulan. Contoh: Gagas Media membayarkan royalti gue setiap enam bulan sekali. Karena TDLC terbit di Januari 2009, maka perhitungannya dimulai dari bulan itu. Misalnya Januari terjual 10 buku, Februari 2, Maret 4, April 9, Mei 19, dan Juni 6 buku, total 40 buku terjual di periode itu. Harga TDLC adalah 25.000, jadi total penjualannya 40 x 25.000 = 1.000.000. Setelah dikurangi 15% (dikali satu juta), maka yang gue terima adalah 850.000 yang dibayarkan di bulan berikutnya. Lagi-lagi, setiap penerbit beda. Tapi, biasanya ada uang muka yang dibayarkan sebelum buku beredar. Not much?

Buku yang ditulis seorang pemula, biasanya dicetak 3.000 – 5.000 eksemplar untuk pertama kalinya, tergantung penerbitnya. Cetakan pertama TDLC 7.500 eks. Tapi, jumlah ini bisa bertambah kalau buku lo jadi best-seller. For example,  Babi Ngesot’-nya Raditya Dika dicetak 20.000 eks dan langsung dicetak ulang dengan jumlah yang sama di bulan berikutnya. Untuk penjualan sampai 20.000 eks, penulis dapat bonus royalty 1%, so, you do the math! Much? Coba bayangkan berapa penghasilan Andrea Hirata dari Laskar Pelangi!

Walaupun novel lo nggak best-seller, kalau ada produser yang naksir untuk mem-film-kan, that’s more money. Konon, penulis skenario film layar lebar bisa gajian sampai puluhan juta. Banyak, kan?

So, yes, you can make a living being a full-time author. Asalkan lo tetap menulis. Berhenti menulis-lah yang jadi masalah. Jadi, berhentilah membayangkan berapa banyak uang yang bisa lo dapat dan mulai menulis lagi.

Some more writing extras will come. As soon as I can come up with an idea. Keep writing!

Rabu, 03 Maret 2010

Chaotic Parliament: Two Ears

Post ini sengaja gue pisah dari yang lalu. Meskipun isinya masih nyambung, tapi topik penting yang mau gue bahas beda.
Lebih khusus ke sidang paripurna kemarin, gue harus jujur mengakui bahwa gue geli mendengar keributan kemarin dipicu microphone yang mati. Silly! I still hope that that’s not true.
Kejadian ini mengingatkan gue akan tes masuk universitas tahun 2002 lalu. Waktu itu, gue dan beberapa orang lain (all girls) dikumpulkan dalam satu ruangan untuk diwawancara bareng-bareng. Kami dikasih kasus yang sama dan diminta menjelaskan bagaimana kami menyelesaikan kasus itu. Cewek-cewek itu langsung menjawab dengan “Kalo saya, …” dan “Saya, sih, …” yang saling bersahutan sementara gue diam dan mendengarkan. In the end, ketiga orang pewawancara—yang belakangan gue ketahui adalah dua orang dosen dan dekan menjabat saat itu—akhirnya beralih ke gue. “Kamu belum ngomong apa-apa,” kata salah satu dosen. “Menurut kamu, gimana?” Kelak di kemudian hari, dosen ini menjadi PA (pembimbing akademik) gue. Di suatu hari konsultasi, kami ngobrol berdua. Dia bilang bahwa gue seharusnya lebih aktif dan partisipatif. Mungkin, gue bisa coba ikut organisasi supaya gue jangan cuma diem aja dalam sebuah diskusi seperti yang terjadi di hari interview itu. I was laughing. Not out loud, but loud enough to make her ask. I told her that it’s a habit. Yeah, it is!
Sejak TK, gue sekolah di sebuah sekolah katolik yang dipilih nyokap gue karena itu adalah yang terdekat dari rumah. Untuk alasan yang sama, gue menetap sampai SMP dan, menjadi terlalu terikat sama teman-teman sehingga mengubur impian sekolah di SMA 8, gue pun masuk SMA itu juga. Sepanjang tahun-tahun itulah, gue belajar untuk ‘mendengarkan saat orang lain bicara’ dan ‘bicara pada waktunya untuk bicara’. Waktu SD, guru-guru gue sangat gemar mengingatkan hal ini sampai, akhirnya, itu menjadi kebiasaan yang tertanam. So, kalau gue terlihat pendiam, itu bukan karena gue nggak aktif dan partisipatif. Tapi, karena gue menghargai hak-hak orang lain untuk bicara.
Gue pikir microphone itu nggak akan perlu ‘sengaja’ dimatiin, kalau para wakil rakyat yang duduk di kursi jutaan rupiah itu mau menahan diri untuk nggak terus-terusan “interupsi!” dan sabar menunggu sampai tiba waktu mereka untuk bicara, dan, selagi itu, duduk mendengarkan apa yang sedang disampaikan orang lain. Lama? Of course! Kan, ada banyak orang yang semuanya mau mengungkapkan pendapat dan mereka mewakili ratusan juta rakyat Indonesia. Kami sudah cukup sabar menghadapi kehidupan yang semakin berat karena keputusan-keputusan yang kalian ambil. Why can’t you?
Gue rasa jadi wakil rakyat memang harus berhadapan dengan isu ‘so many things to do, so little time.’ ‘Mau mendengarkan’ dan ‘berjuang untuk didengarkan’ adalah resiko yang diambil seseorang ketika memutuskan akan duduk di gedung yang bentuknya aneh itu. Tapi, seharusnya dilakukan dalam urutan itu. ‘Mendengarkan’ dulu, baru ‘didengarkan’. Isn’t that’s why He gave us two ears?

Chaotic Parliament: Empty Empathy

Kisah ricuhnya sidang paripurna DPR, 2 Maret 2010 kemarin, jadi perbincangan yang cukup seru di berbagai tempat. Kantor—gue yakin, di beberapa keluarga—mungkin, dan yang pasti di berbagai situs sosial, kayak facebook dan twitter. Gue, sebenernya, bukan tipe yang peduli dengan hal-hal itu. Bukannya apatis, gue cuma nggak mau sok tau tentang politik dan teman-temannya. Sejauh ini, gue belum merasa tertarik untuk mendalaminya.
Tapi, berita chaos-nya sidang itu membuat gue teringat akan berita beberapa hari sebelumnya. Tumben, gue nonton berita. Tapi, bukan itu yang mau kita bahas. Beberapa hari lalu, gue lupa kapan dan di mana, ada berita tentang tawuran pelajar yang dipicu saling ejek. Sore itu, gue berpikir, “Ya ampun! Cuma diledek aja, langsung jadi tawuran.” I’m not into fighting, apalagi untuk alasan yang sepele.
Tapi, mendengar ribut-ribut di sidang paripurna, gue jadi berpikir ulang. Wajar, kalau pelajar-pelajar jadi tawuran hanya karena saling ejek. Mereka dapat contoh yang luar biasa ‘bagus’ dari wakil-wakil rakyat yang kehidupannya kita biayai itu. Bukan sidang ini aja. Meskipun gue nggak ngikutin semua dari a sampai z, gue mendengar beberapa kali keributan yang juga dipicu saling ejek di sidang-sidang lain, kayak sidang pansus beberapa waktu lalu. Gue jadi berpikir, kalau gue adalah pelajar dan suatu hari gue ditangkep polisi karena tawuran, terus polisi yang interogasi gue nanya “Kecil-kecil udah berantem. Nanti, kalo udah gede, mau jadi apa?!” gue akan jawab “Jadi wakil rakyat.”
Lagi-lagi, gue nggak mau sok tau. Tapi, di sudut ingatan gue, ada omongan seorang dosen soal penelitian tentang agresivitas. Dalam penelitian itu, anak-anak yang disuguhi video perang dan kekerasan lain end up lebih agresif daripada anak-anak yang nonton Spongebob Squarepants dan Dora the Explorer. Penelitian ini mendukung pemahaman gue soal betapa wajarnya pelajar Indonesia yang lebur dalam tawuran gara-gara saling ejek karena sehari-hari mereka disuguhi tayangan politik di mana wakil rakyat saling ejek karena perbedaan pendapat dan end up dalam perkelahian—entah itu mulut maupun fisik.
So, folks… How do we prevent this from happening again in the future? Jawabannya satu: empati. Empati itu beda sama simpati, lho. Please, google to know the difference. Dulu, dalam sebuah tes psikologi yang gue lakukan untuk tugas kuliah, gue mendapati bahwa tingkat empati gue sangat tinggi. Bukan sombong. Malah, gue berpikir, ini merugikan. Apa-apa yang ’terlalu’ itu tidak baik. Empati yang ‘terlalu’ tinggi membuat gue sangat memikirkan orang lain dan jarang sekali bisa menikmati hidup dengan cara gue, yang dalam banyak hal berbeda dengan orang lain. Hidup gue penuh dengan ketidakpuasan. Tapi, gimanapun juga, empati itu penting!
Empati adalah, singkatnya, putting ourself in other’s shoes. Atau, memakai kacamata orang lain. Gee, I’m using another words from Andrei Aksana I heard at the workshop. Empati adalah merasakan apa yang dirasakan orang lain. Is it hard? Of course! At first. Tapi, gue rasa ini udah diajarin ke bangsa kita sejak jaman dahulu kala. Kan, orangtua-orangtua sering bilang “Jangan nyubit kalo nggak mau dicubit!” Itu bisa dibilang salah satu cara mudah ber-empati.
Does it really work?
Ini satu contoh. Tahun 2006 lalu, gue jadi fasilitator di salah satu program Yayasan Putra Bangsa. I served for five batches and dealt with many kinds of kids. Di batch terakhir, gue menjadi fasilitator dari sebuah kelompok di mana salah satu muridnya adalah anak paling buandel di batch tersebut. Masih kelas 5 SD, tapi anak-anak lain yang lebih tua pun nggak mau berurusan sama dia. Sejak pembagian kelompok, dia udah memanggil gue dengan berbagai sebutan, mulai dari “gendut”, “babi”, dan yang lainnya. Malah, dia pernah nanya secara frontal “Kak, kok, kakak gendut kayak sapi, sih?” Yeah! Mau marah, memang! Waktu dia tanya begitu, anak-anak lain memandangi gue dengan tatapan takut. I figured they’re afraid that I’m going to be mad and punished them. Tentunya, gue diijinkan untuk menghukum kalau memang diperlukan. Tapi, gue nggak merasa hal itu perlu dilakukan. Gue malah kasihan.
Di akhir batch, kami—para fasilitator—punya kebiasaan menulis surat pendek untuk setiap anak dalam kelompok masing-masing. Karena setiap kelompok anggotanya bisa sampai 10-11 anak, biasanya kami tidur larut di malam terakhir, tidak hadir di meja makan, dan menghilang beberapa jam sebelum bis menjemput anak-anak itu pulang, hanya demi menyelesaikan surat-surat itu. Surat gue untuk anak itu adalah surat terpanjang yang pernah gue tulis sepanjang seluruh program. Isinya kurang lebih menyatakan bahwa gue senang dia ada di dalam kelompok gue. Dia adalah anak yang aktif berpartisipasi, mau bertanya, dan nggak malu menjadi contoh buat teman-temannya. Tapi, sebagai ‘informal leader’ seharusnya dia bisa memberikan contoh-contoh yang baik dan menahan diri agar tidak melakukan hal-hal yang kurang baik, misalnya memanggil gue “babi”. I told him that I’m not mad. I didn’t. Tapi, gue tanya gimana kalau ada orang lain yang memanggil dia “babi”, atau panggilan lain yang berkonotasi buruk, apakah dia akan marah. Kebiasaan itu betul-betul perlu diubah, terutama karena nggak semua orang akan mampu bersikap seperti gue. Bisa jadi, seseorang yang dia panggil “babi” merasa sakit hati dan marah, terus menyewa preman untuk mukulin dia atau pergi ke dukun untuk nyantet dia—anak itu tinggal di daerah di mana hal-hal seperti ini ‘biasa’—atau, yang lebih parah, mukulin dan nyantet orang-orang yang dia sayang.
When he’s already sitting inside the bus, I gave him the letter through the window. I expected that he’ll call me “babi” again, but he didn’t. He asked me “Apa ini, kakak gendut?” Dengan senyum tersungging, gue menepuk-nepuk kepalanya dan bilang “Baik-baik, ya? Jangan nakal! Kakak pasti kangen sama kamu.” Terus, gue menghampiri teman-teman fasilitator yang lagi ngobrol dekat situ. Haha-hihi kami berhenti ketika seorang fasilitator bilang salah satu ‘anak’ gue nangis. It was him! Gue berbalik dan mendapati anak itu memandangi gue dengan mata dan pipi basah. Salah satu telapak tangannya menempel di kaca jendela, sementara surat yang gue tulis ringsek di genggaman tangannya yang lain.
Semua anak menangis pada saat perpisahan itu. Tapi, selama lima batch, anak itulah yang nangisnya paling kejer. Ketika gue menghampiri dia, dia udah nggak bisa ngomong lagi. Kata-katanya tertelan isakan. Akhirnya, gue bilang “Kakak tau” berulang kali sambil menepuk-nepuk kepalanya. Dia baru melepas tangan gue setelah bisnya jalan. Beberapa kali setelah itu, dia sempat sms gue. Katanya, dia udah jadi anak yang baik, orangtuanya lebih sayang sama dia, dan dia lagi belajar untuk ujian masuk SMP yang bagus dekat rumahnya.
You see? Anak itu nggak ngerti arti kata empati. Tapi, dia mau belajar untuk merasakannya. And it really worked for him. Willing to try, Bapak-bapak wakil rakyat?

Selasa, 02 Maret 2010

Topik intim yang sering ditabukan

Beberapa hari yang lalu, seseorang yang cukup dekat dengan gue (untuk lebih mudahnya, seterusnya akan gue sebut Miss B) memulai obrolan dengan topik yang intim, yaitu seputar aset-aset fisik seorang perempuan. Miss B bilang dia merasa kalau payudaranya tidak seperti punya teman-temannya. Sedikit banyak, dia jadi minder soal itu. Memang, Miss B udah memasuki akhir masa remajanya, jadi, wajar aja dia mulai mencemaskan area-area pribadi yang menimbulkan pertanyaan "kok, beda, ya?" di kepalanya.

To be honest, gue pun pernah mengalami masa itu. Malah, every once in a while, gue akan berdiri di depan cermin dengan kening berkerut. "Kenapa bagian ini begini?" dan "kenapa bagian itu begitu?" pastinya akan terpikir juga. Gue pun sering bertanya-tanya sendiri, apakah orang lain juga sering bertanya-tanya hal yang sama? Dan, seperti apakah aset-aset perempuan-perempuan lain? Ada nggak yang bentuknya kayak punya gue?

Sama seperti banyak orang lain, di keluarga gue pun, topik-topik begini nggak pernah tercetus. Ada aturan-aturan tak tertulis (maupun terkatakan) yang melarang topik ini. Bikin bingung, pastinya. Tapi, nyokap gue kolot dalam hal ini. Akhirnya, sejak remaja, gue menelan sendiri pertanyaan-pertanyaan seperti ini. Gue hanya bisa berpikir bahwa gue memang nggak sempurna. Gue akan sangat kesulitan mendapatkan pasangan hidup karena payudara kiri gue lebih besar dari yang kanan, dan bentuknya tidak sama dengan punya nyokap. Tapi, ini pemahaman yang salah kaprah.

Di suatu semester semasa kuliah dulu, gue pernah bikin penelitian tentang remaja dan situs porno. Untuk riset (dan memenuhi rasa penasaran, hehehehehe...) gue pun berenang-renang di berbagai situs porno. Did I have fun? Of course! Gue akhirnya mendapat jawaban bahwa memang setiap perempuan punya bentuk payudara (dan vagina, tentunya) yang berbeda. Nggak ada yang persis sama, dan sama sekali nggak ada hubungannya dengan pasangan hidup. Selain itu, gue jadi menyadari bahwa melarang topik-topik yang-ditabukan-dalam-masyarakat untuk dibicarakan dalam keluarga beresiko besar.

Seperti gue, banyak anak lain yang tidak mendapat pengetahuan tentang topik-yang-tabu ini dari keluarganya, akhirnya mencari jawaban-jawaban tersebut di tempat lain. Dalam kasus gue, lewat internet. Lucky me, gue sudah cukup dewasa ketika akhirnya melakukan hal itu. Meskipun sebenarnya gue terlambat mengetahui, tapi keterlambatan membuat gue cukup dewasa untuk bisa memahami topik-yang-tabu itu dengan kacamata ilmu pengetahuan. Gue nggak perlu merasakan efek-efek negatif dari situs-situs porno yang gue buka. Tapi, unlike me, banyak anak lain yang akhirnya malah terjerumus dalam efek-efek negatif itu.

Salah siapa? Salah orangtuanya, tentunya.

Pertama, kalau topik intim, seperti payudara, penis, dan seks nggak ditabukan dalam keluarga, anak akan punya sumber yang pasti sehingga mereka nggak perlu mencari jawaban dari sumber lain. Of course, orangtua bukan Dr. Boyke yang tahu almost everything about sex. Tapi, justru disitulah perannya. Ketika orangtua menjelajahi dunia maya, misalnya, untuk mencari jawaban dari pertanyaan si anak, orangtua berhak (dan wajib) meletakkan batasan-batasan sampai sejauh mana si anak perlu tahu tentang topik yang mereka tanyakan. Tapi, dengan menjadi terbuka terhadap topik-topik intim, orangtua memberikan semacam kode-kode kepada anak bahwa si ayah atau ibu bisa menjadi tempat untuk bertanya yang bisa diandalkan.

Kedua, orangtua kurang menaruh perhatian sampai banyak anak yang berkeliaran dengan bebas di warnet. Gue juga dibesarkan dalam keluarga dimana kedua orangtua bekerja. Gue paham bahwa orangtua nggak mungkin memberikan perhatian 24 jam penuh. Tapi, bagaimanapun anak adalah tanggung jawab orangtua. Orangtua harus bisa memberikan batasan-batasan soal apa yang boleh dan yang nggak boleh dilakukan anak, juga tempat-tempat yang boleh dan nggak boleh dikunjungi.

Well, meskipun udah muter-muter ke mana-mana, sebenernya post ini gue tulis untuk merekomendasikan Intimate Medicine. Meskipun banyak gambar-gambar sensual di dalamnya, situs ini nggak porno. Artikel-artikelnya membahas payudara, vagina, penis, dan seks (dan berbagai hal lain yang berkaitan) dari sudut pandang medis dan sosial. Jadi, situs ini aman. Walapun begitu, gue tidak menyarankan anak-anak yang belum cukup umur untuk membaca situs ini tanpa pengawasan orang dewasa, ya?

Tambahan untuk para orangtua: Ada perbedaan individu untuk kategori cukup umur. Usahakan untuk tidak menilai anak masih terlalu kecil. Meskipun secara usia masih kecil, kalau di dalamnya dia sudah cukup umur, dia akan siap. Secara pribadi, gue berpendapat bahwa saat paling tepat untuk mulai memberikan pendidikan seks pada anak adalah ketika si anak mulai bertanya soal ini. Jadi, kita harus memastikan bahwa kepada orangtua-lah anak pertama kali bertanya soal seks. That way, we know they're ready.

Menulis post ini membuat gue bersyukur gue belum jadi orangtua. Selamat berjuang, orangtua!

Senin, 01 Maret 2010

Writing Tips: Baca! Baca! Baca!

Memang serial writing sudah selesai. Tapi, gue akan tetap menambahkan ilmu di sana-sini lewat writing tips. Mudah-mudahan akan useful.

Hari Sabtu lalu, 27 Februari 2010, gue jadi peserta workshop penulisan di Kompas Gramedia Fair. Ada 3 pembicara yang bagi-bagi ilmu di hari itu: Andrei Aksana, Clara Ng--my local favorite!, dan Sitta Karina. Waktu menunggu Clara Ng muncul, gue deg-degan kayak mau ketemu pacar. Tapi, itu cuma intermezzo. Gue nggak akan cerita panjang lebar soal perasaan gue bertemu muka dengan Clara di sini.

Di workshop itu, gue menemukan bahwa semua pengarang memang punya cara dan gaya sendiri, tapi garis besarnya nggak jauh beda. Banyak ilmu yang mereka bagi di sana, ternyata kurang lebih sama dengan apa yang pernah gue tulis di serial writing. Tapi, memang, tulisan gue di blog ini masih sangat dangkal. Rekomendasi gue: beli buku Be A Writer, Be A Celebrity-nya Andrei Aksana. Buku itu akan jadi aset yang berharga.

Be A Writer, Be A Celebrity yang ada di tangan gue sekarang adalah salah satu isi paket workshop yang gue terima, jadi gue nggak tahu berapa harganya kalau lo beli di toko buku. Meskipun non-fiksi, buku itu nggak berat. Berasa kayak baca majalah. Bukunya kecil, persergi, tipis, dan halamannya penuh warna. Isinya bagus banget: step by step general tutorial yang berguna banget buat siapa pun yang punya niat serius untuk jadi penulis.
Buku lain yang juga perlu dimiliki semua orang yang pengen jadi pengarang adalah kamus. Kamus adalah investasi seorang pengarang, menurut gue. Gue sendiri, sejak kuliah, udah ngidam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang kebetulan gue temukan terbuka di atas sebuah podium di tengah-tengah lantai 3 perpustakaan kampus. Dalam penglihatan gue, kamus itu seperti dikelilingi cahaya dari langit. Persis adegan pembukaan Mr. Bean. Hehehe... Terakhir gue lihat di toko buku, KBBI terbitan terbaru--gue lupa edisi keberapa--harganya lebih dari 300rb. Lumayan banget! Tapi, gue nemu KBBI edisi kedua cetakan tahun 1991 di toko buku bekas langganan. Gue bawa pulang setelah bayar 80rb. Kamus itu jadi harta karun gue sekarang. Gue juga punya kamus bahasa baku. Gue lupa harganya, tapi buku itu gue beli di toko buku besar di mal di samping kampus gue.

Kenapa harus punya kamus?

Buku yang baik adalah buku yang bisa diterima berbagai kalangan. That's why, meskipun menulis teenlit yang ceritanya ringan, gue sarankan, pakailah bahasa yang baku. Ringan, nggak pa-pa. Tapi, baku. Gue berpikir, buku gue mungkin dibeli seseorang yang tinggal di daerah pinggiran di luar pulau Jawa. Kemungkinannya, mereka masih pake bahasa daerah dan nggak begitu paham bahasa Jakarta sekarang ini. Jadi, bahasa baku memudahkan pengarang untuk menyampaikan isi kepalanya ke pembaca yang berasal dari berbagai kalangan.

Intinya, tips gue kali ini adalah, seperti yang gue tulis di serial writing juga, banyaklah membaca. Baca buku Be A Writer, Be A Celebrity-nya Andrei Aksana (Mas Andrei, aku udah promosiin bukumu, ngopi-ngopinya dikau yang bayarin, ya? hehehehe...), dan lakukan saran-sarannya. Banyaklah membaca buku lokal untuk memperkaya perbendaharaan kata lo, dan pakai kamus buat acuannya.

That's it for now. See you soon!

Kamis, 25 Februari 2010

Karena waktu tidak akan menunggu

Gue baru menyadari bahwa orang-orang yang gue sayangi, yang penting keberadaannya dalam hidup gue, sudah menemukan The One jodoh orang yang akan berusaha untuk mengabdikan hidup bersama mereka. Well, most of them are. My Y-chromosome bestfriend is planning to tie the knot dan salah satu sepupu gue pun sedang merencanakan pernikahannya tahun ini.

Gue jadi berpikir... Selama ini, setiap kali ada yang bertanya, gue menjawab "After thirty." Dan, kalau ada yang ingin tahu, gue akan jelaskan bahwa gue adalah seorang pemimpi, dan my biggest dream adalah mengabdikan 24 jam sehari 7 hari seminggu dalam hidup gue untuk laki-laki yang mau merelakan peluhnya untuk gue dan anak-anak kami. A full dedication. Tapi, saat ini, tidak, terima kasih. Gue nggak yakin bisa memberikan full dedication kalau gue masih punya mimpi yang terkatung-katung tak terwujud.

I really think so. Tapi, akhir-akhir ini, gue jadi ragu sendiri. Jangan-jangan, alasan itu sebenarnya hanya sebuah pembenaran. Jangan-jangan, sebenarnya, gue cuma ngeles karena memang belum punya pacar dan merasa perlu menetapkan deadline sendiri untuk mencari that particular guy.

You know, suatu hari di masa lalu, adek bungsu gue pernah bilang, "Seperti yang kamu bilang, Bam." Jangan tanya kenapa dia memanggil gue dengan sebutan itu. Katanya lagi, "Waktu nggak akan berhenti untuk menunggu sampai kita siap. Dia akan terus berjalan, tanpa peduli apakah kita masih takut atau nggak, apakah kita sudah selesai mempertimbangkan segalanya atau belum. Dia akan terus berjalan. Dan, kalau kita nggak melakukan apapun, kita akan tertinggal." Memang, gue ingat, gue pernah bilang begitu sama dia. Gue nggak nyangka sama sekali, dia akan ngebalikin kata-kata itu ke gue.

She's right. I'm right.

Waktu memang nggak akan menunggu sampai gue punya pacar.  Waktu juga nggak akan menunggu sampai semua mimpi gue terwujud. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, pilihannya bukan hanya dua itu, kan?

Waktu memang masih terus berjalan. Dan akan terus berjalan. Tapi, gue juga nggak berhenti dan mengasihani diri. Gue juga ikut berjalan bersama waktu, sambil mewujudkan mimpi demi mimpi. Di jalan ini juga, that particular guy is raveling his thread of life. Dan, pada suatu titik, pada waktunya, kami akan berpapasan. Gue akan membuka mata dari mimpi-mimpi gue dan menyadari semuanya sudah hilang, sudah terwujud. Sedangkan dia akan mengangkat kepala dari rajutannya dan menyadari bahwa di depannya berdiri satu-satunya hal yang masih dia butuhkan untuk melengkapi rajutannya. Gue.

Rabu, 24 Februari 2010

One Person, Big Change

Tepat 24 jam yang lalu, my baby sister meninggalkan rumah untuk pergi retret selama 3 hari. Nggak jauh, rumah retretnya di daerah Bintaro, tempat yang sama ke mana gue pergi retret waktu kelas 3 SMA, 8 tahun yang lalu. Gue tau tempatnya, dan gue tahu that she'll have lots of fun there.

Tapi...

Oh, my God! Tanpa adek gue yang satu itu, rumah bakal terasa seperti kuburan. It already is.

Si bungsu di rumah gue itu adalah tanda tambah buat seluruh anggota keluarga yang lain. Kenapa tanda tambah? Here's one reason:
               Gue dan bokap gue tidak dekat. Karakter kami yang sama-sama keras bikin suasana jadi sangat
               panas kalau kami saling bicara. Dalam banyak kesempatan, gue menghindari pembicaraan itu.
               Tapi, adanya si bungsu dalam ruangan yang sama bisa bikin kita berdua jadi lebih lunak dan
               akhirnya bisa saling bicara tanpa ada bentrokan-bentrokan dan percikan-percikan api.

Selain itu, adek gue itu sangat talk-active dan sangat belly-active. Setiap pulang sekolah, dia akan ngintip ke kamar gue dan bertanya "Apakah sudah ada makanan?" masih dengan seragam dan ekor kuda yang basah karena keringat. Terus, setiap beberapa jam, dia akan bergulingan di tempat tidur sambil mengeluh "lapaaar..." *lol*

Hobinya memeluk. Kalo gue keluar kamar, dia akan menyambut dengan tangan terentang lebar. "BMB...." katanya. Jangan tanya! Gue juga nggak tau kenapa dia manggil gue dengan tiga huruf itu. Terus dia akan memeluk gue, meletakkan kepala di perut gue yang tebal. Biasanya, gue akan sengaja mempererat pelukan sampai dia megap-megap nggak bisa napas. Hehehehe...

Bukan itu aja. Dia suka minta diajarin matematika & bahasa inggris (2 bidang yang paling gue kuasai sekaligus paling nggak dia ngerti), susah minta ampun kalo disuruh bantuin nyuci baju, dan selalu meletakkan barang-barangnya di sembarang tempat di seluruh penjuru rumah. Nemu tumpukan buku tulis di ruang tamu? Atau kesandung sepatu di depan kamar? Di kulkas ada barang yang tidak pada tempatnya? That's her. Tapi, dia juga ngajarin gue banyak hal, mostly about life. Tentang ketegaran dan keikhlasan. Setiap kali gue merasa lagi dirudung kemalangan, ketika gue ingat dia, gue merasa apapun yang gue alami, belum ada separonya yang pernah dia lewati dalam hidupnya yang bahkan baru dimulai 12 tahun setelah gue lahir.

Tapi, tau nggak apa yang paling gue kangenin dari dia? Ada dua hal. Satu, ketawanya. Adek gue yang perutnya berlipet kayak roti kasur itu, kalo ketawa suaranya kayak abang-abang. Kenceng banget, lagi. Bisa kedengeran dari kamar gue yang letaknya di belakang rumah, padahal dia di kamarnya. Dua, baunya. Gue udah pernah cerita belum, ya, soal adek gue dan penyakitnya? Singkat cerita, penyakitnya itu membuat dia punya bau badan yang khas. Ditambah kebiasaannya yang jarang mandi, bau ini jadi pekat banget, terutama kalo dia pulang sekolah. Now, that she's not here, bau itu bikin kangen banget.

Hua... Harusnya gue jangan nulis post ini. I miss her even more! Off now... Wish it's Thursday already.

Writing 103: First Step to be a (famous) Writer

The journey of a thousand miles begins with one step, said Lao Tzu.

The first step is the hardest, said Marie De Vichy-Chamrond.


I agree with Lao Tzu. But, I have to say that the first step is not always the hardest. Sorry, Marie… No offense. Here's why.
Membaca posting ini berarti lo sudah membaca episode-episode sebelumnya dari serial writing yang gue tulis. Kalau belum, sebaiknya lo baca dulu sebelum melanjutkan. Klik link di bawah ini!

Writing 101: How to be a Writer

Writing 101: Knowing What to Write

Writing 102: What to Write?

Writing 102: Stay Focus!

Kalau sudah melakukan semuanya yang tertulis di tiga episode dari serial writing yang sebelumnya, berarti lo sudah menjadi penulis. Saatnya untuk melanjutkan ke tahap berikutnya: menjadi penulis yang terkenal. Sebelum kita mulai, perlu gue kasih tau dulu bahwa post ini akan jadi tulisan terakhir gue dalam serial writing.

Untuk menjadi penulis yang terkenal, sebetulnya nggak butuh banyak hal. Yang pertama, tentunya, lo harus sudah punya cerita. Nggak masalah apakah itu sebuah puisi, cerpen, atau novel. Yang penting cerita itu sudah punya bentuk fisik yang bisa dipegang. Kalau bentuknya masih soft copy, cepat cetak! Pengalaman pribadi mengajarkan gue bahwa bentuk fisik sifatnya lebih menuntut, terutama kalau selalu terletak di tempat-tempat yang terlihat mata.

Sudah ada di tangan? Bagus! Berikutnya, putuskan ke mana lo akan memberikan naskah cerita itu. Biasanya, kalau cerpen atau puisi, lebih umum dikirim ke media cetak, misalnya majalah atau tabloid. Tapi, kalau novel, sudah pasti harus dikirim ke penerbit.

Seperti yang pernah gue tulis, sebaiknya naskah cerita dikirim ke penerbit yang buku-buku keluarannya paling lo suka. Nggak suka baca buku? Urungkan saja niat untuk jadi penulis! Don’t ever think about it again! Penulis yang nggak suka baca buku sama aja kayak koki yang nggak suka makan.

Di Indonesia, banyak banget penerbit-penerbit yang cukup punya nama. Lo bisa cari alamat redaksi mereka di Google. Cara yang lebih sederhana adalah lihat di sudut kiri bawah sampul belakang novel favorit lo. Pasti ada.

Jangan lupa: setiap penerbit punya kebijakan sendiri soal naskah yang mereka terima. Biasanya, soal font, jumlah halaman, dan jenis cerita. Hargai kebijakan ini dengan mengikutinya! Jangan kirim naskah fiksi ke redaksi penerbit yang jelas-jelas nggak nerbitin buku fiksi! Kalau punya naskah 70 halaman, jangan dikirim ke penerbit yang punya kebijakan menerima naskah minimal 100 halaman! Cari penerbit lain yang sesuai.

Gue adalah tipe orang yang selalu punya (minimal) plan B. Jadi, ketika gue punya naskah yang siap dikirim, maka gue akan menyiapkan sedikitnya dua label dengan alamat penerbit yang berbeda. But, of course, gue cuma akan mengirimkan satu. Seorang penulis science fiction yang cukup terkenal di negaranya menyarankan untuk langsung mengirimkan naskah kita yang dikembalikan penerbit A ke penerbit B. “Kalau naskah lo dikembalikan, jangan buka amplopnya,” kata penulis itu. “Langsung tempel label alamat penerbit lain dan kirim lagi.”

Tapi, gue tidak menyarankan hal ini untuk dua alasan. Pertama, penerbit yang cukup punya nama biasanya menggunakan amplop yang udah di-personalized dengan nama mereka. Lo nggak mungkin mengirim naskah itu dalam amplop penerbitnya ke penerbit lain. Nggak etis. Kedua, berdasarkan pengalaman, ada penerbit yang menyertakan surat penolakan ketika mengembalikan naskah lo. Mungkin, surat itu isinya hanya penolakan. Mungkin juga disertai hal-hal lain, misalnya alasan penolakan atau, lebih bagus lagi, saran-saran perbaikan. In this second case, lo pasti pengen baca suratnya, kan? Penulis yang baik adalah mereka yang mau menerima saran, meskipun belum tentu melakukannya. Jadi, kalau naskah lo dikembalikan, buka amplopnya, periksa baik-baik isinya, pindahkan ke amplop lain, baru tempel label alamat dan kirim ke penerbit lain. Kalau ditolak lagi, kirim ke penerbit ketiga. Dan, seterusnya. Dan, seterusnya. Meskipun gue kurang setuju dengan saran si penulis sci-fi, gue harus akui bahwa gue banyak belajar dari dia. Beliau punya saran-saran yang lebih luar biasa soal tulis-menulis. Sayangnya, gue nggak bisa link dia di sini. I totally forgot his name. Sorry.

Tapi, ada banyak penulis lain yang punya tips-tips oke untuk menulis. Richard Harland dan writing tips-nya, misalnya. Beliau punya writing tips yang lengkap dan tersusun rapi. Keren banget dan totally helpful! But, I have to remind you, kalau banyak baca tips dari orang lain, dan merasa cocok, kita seringkali terhanyut dalam tips-tips itu. Pesan gue, tetaplah jadi diri lo sendiri. Setiap penulis punya ciri khas yang akan jadi penting ketika terkenal.

Mengirim naskah ke penerbit, bukan berarti perjuangan lo selesai. Ingat, ini baru langkah pertama menjadi penulis terkenal. Langkah kedua yang harus lo ambil adalah mengulang kembali siklus ini dari awal. Tentukan apa yang mau lo tulis, lakukan penelitian untuk dasar tulisan, dan tulislah. Selesaikan, lalu kirim ke penerbit. Nggak ada penulis yang langsung terkenal karena buku pertamanya. But, then again, setau gue, juga nggak ada penulis yang menulis karena pengen terkenal. We, writers, write because we love to. Being famous is a side effect.

Now, that’s it. Like I wrote up above, this is the last episode of this writing series. Tapi, meskipun serial writing ini berakhir di sini, jangan ragu untuk nanya-nanya lebih jauh, ya? You can always write me an email. Send it to marsczha@yahoo.com. Tulislah yang panjang dan menarik! Hitung-hitung latihan! I’ll be glad to reply.


Happy writing!

Selasa, 23 Februari 2010

Cuaca, brownies, & writing series

Hi,there..

Kemarin, di Pamulang, cuacanya sedikit aneh. Petir-petir galak memaki gue sejak tengah hari. Langit biru cerah berawan tipis menerawang tiba-tiba berubah warna jadi abu-abu monyet. Gue langsung narik curtain sampai kamar gue gelap, dan pindah ke kamar adek gue. Tapi, begitu sore, tiba-tiba matahari jadi galak dan petir pun nglakep. Rencana beli kertas roti pun terombang-ambing.

Menjelang maghrib, akhirnya matahari mulai tenang. Gue pun tersenyum-senyum senang membayangkan brownies yang atasnya pecah-pecah. My favorite! Sedih banget, brownies kayak gini susah banget dicari di pasaran. Yang gue buat kemaren resep asli pennylane brownies Mbak Riana Ambarsari.

Brownies gue kayaknya dipanggang dengan api yang terlalu besar. Pecahan di atasnya cuma sedikit. Bikin gemes! Rasanya? Uenaaak buangeeet! Gue aja, kayaknya, udah ngabisin setengah loyang sendirian.

Gue lagi siapin writing series berikutnya: The First Step to be a (famous) Writer. Harus nungguin laptop yang lagi dipakai adek gue.

Be waiting!

Senin, 22 Februari 2010

Passion yang tersisihkan

Enam bulan pengangguran membuat tangan gue gatel-gatel. Bukan. Bukan digigit nyamuk. Dan, jelas juga bukan panu. Gue nggak jorok, kali. Gue mandi sehari tiga kali, minimal. Tangan gue gatel karena udah lama sekali gue meninggalkan hobi 'membuat'.

Sebetulnya hobi gue banyak. Gue suka baca buku. Buku apa aja gue baca, kecuali Come Come Paradise. Gue juga suka masak, melipat kertas, menggunting dan menempel, merobek halaman majalah, dan lain-lain. Untuk singkatnya, sebagian besar hobi gue dapat dirangkum menjadi membuat. membuat masakan, membuat origami, membuat kliping, membuat baju. Gue pengen belajar membuat anak juga. Tapi, yang ini harus menunggu. Alat dan bahan yang dibutuhkan masih harus dicari.

Singkat cerita, semenjak tuntutan menyelesaikan skripsi menyita perhatian dan waktu gue, banyak hal yang akhirnya harus tersisihkan. Ditambah lagi, pada waktu yang bersamaan, banyak hal yang terjadi. Hal-hal yang menguras kemampuan intelektual dan emosional gue. Akhirnya, hobi membuat pun terpaksa harus gue simpen dulu.

Gue ingat, gue jadiin satu semua kotak-kotak perkakas gue (berisi gunting, lem, kertas lipat, perforator, benang berbagai warna, jarum berbagai ukuran, dll) dan gue simpan di lemari yang paling jarang dibuka di kamar gue. Ditumpuk-tumpuk sama kacamata-kacamata yang udah nggak gue pake, kamera SLR rusak (padahal beli di Jepang), dan koleksi kotak-kotak kemasan makanan gue. Buku-buku folio berisi sobekan majalah pun gue simpan di dalam kardus, barengan sama koleksi lengkap Harry Potter, berbagai novel Harlequin, chicklit komplit, dan buku-buku teks waktu kuliah yang isinya nggak nyambung sama skripsi gue. Satu-satunya hiburan gue hanya laptop, yang langsung masuk rumah sakit begitu gue dinyatakan lulus sebagai sarjana. Kasihan kau, laptop!

Semenjak jadi pengangguran yang sibuk (dengan urusan domestik), gue jadi punya banyak sekali waktu luang. Tentunya sebagian buat menulis, tidur siang, dan nonton dorama Korea serta Spongebob dan Naruto. Tapi, di waktu luang yang nggak gue pake untuk menulis, tidur siang, maupun nonton, gue jadi banyak melamun. Memang, melamun adalah pekerjaan seorang penulis fiksi.

Fortunately, ketika melamun, gue butuh ruang yang lebar dan bersih. Dan, akhirnya membuat gue menyadari bahwa kamar gue berantakan. Dalam usaha merapikan kamar, gue menyadari betapa meja gue berantakan. Ketika berusaha meletakkan segala hal pada tempatnya, gue menyadari betapa isi kepala gue berantakan. Kertas-kertas di meja gue kebanyakan bekas draft skripsi yang sayang kalo dibuang. Jumlahnya mungkin satu rim lebih beberapa puluh lembar. Di belakangnya, bagian yang kosong tak terpakai dipenuhi tulisan tangan gue yang miring ke-sana-kemari. Tulisannya antara lain "tokoh utama perempuan teman sekelas tokoh utama laki-laki" dan yang mirip-mirip dengan itu. Ide-ide mentah juga banyak sekali di draft di SE Z610i gue dan di buku kecil yang selalu gue bawa ke mana-mana. Akhirnya, gue memutuskan, gue butuh sebuah buku khusus untuk menyimpan ide mentah cerita gue. Terus, gue memutuskan untuk sekalian bikin buku resep dan agenda 2010. Mumpung, 2010 belum terlalu larut.

Nah! Ketika gue lagi browsing gambar-gambar buat ditaro di sampul buku-buku itu, gue nyasar ke web-web favorit gue dulu. Cut out and keep, craftster, dan beberapa lagi yang gue lupa namanya dan file-nya masih ada di laptop yang sedang koma. Singkat cerita, passion yang tersisihkan itu sekarang membuat gue semakin insomnia. Sakit punggung juga semakin parah karena sering membungkuk kalau menjahit. Luka bakar juga semakin banyak karena sering kecipratan minyak kalau masak, dan kenyunyuk loyang panas waktu ngeluarin dari oven. *menghela napas* Menekuni hobi itu memang sangat menyenangkan, teman!

Minggu, 21 Februari 2010

Perubahan

Entah apa ada orang yang membaca blog gue. I keep posting because I love it. Tapi, kalau memang ada, berarti dia (atau kalian, mudah-mudahan) memperhatikan gue sudah ganti blogskin sampai beberapa kali bulan ini. Gue memang sedang mencari blogskin yang mencerminkan gue. Tapi, belum ada yang oke banget. Jadi, bersabarlah dengan perubahan ini, ya?

Thank you: there can't be too much of it

Gue baru saja menerima rekapitulasi penjualan 6 bulanan TDLC yang kedua. Nggak terasa TDLC udah memasuki tahun kedua peredarannya di dunia. *giggle* Hasil penjualannya memang agak merosot.  But, I’m happy anyway. Mungkin rasanya sama kayak ngeliat anak sendiri udah bisa jalan tanpa dituntun. *more giggles* Gue belum pernah punya anak. But, you know what I mean.

Ada empat digit angka di akhir kolom yang berjudul “Terjual (eks)”. Wow! Ketika gue melihat angka-angka itu, gue terpesona. Ada segitu banyak orang yang membaca hasil tulisan gue. Dan, mereka bukan membaca tulisan itu karena mereka harus (like what they do to thesises) tapi karena mereka berpikir cerita itu menarik. Itu, kan, yang terlintas di kepala lo ketika lo mengambil sebuah buku dan memutuskan—entah beli atau pinjam—untuk membacanya?

So, I sign in to post this blog. Gue memutuskan bahwa mereka yang telah memutuskan untuk membaca TDLC (entah beli atau pinjam) layak menerima ucapan terima kasih gue. Dengan cara membaca, mereka memberikan pengakuan terhadap hasil kerja gue. Mengetahui bahwa sesuatu yang gue kerjakan simply for passion bisa menjadi sesuatu yang berguna bagi orang lain (entah itu menyadarkan akan sesuatu, memberi insight dalam membuat keputusan, atau hal sederhana seperti mengisi waktu luang) bisa menimbulkan perasaan yang menyenangkan. Feels like orgasm, just last longer!

For that reason, big thanks to: Nina, Ninda, Shabrina, Tika, Monica, Aletheea Elizabeth, Tiara Gerard Atkinson, KristyAnggi, juga mereka yang gue nggak tahu namanya, seperti yang ini, ini, ini, ini, dan ini.

Sabtu, 20 Februari 2010

Happy Life!

Hari ini, sepupu gue~yg juga seorang penulis~lg nujuh bulanan.
Dia adalah salah satu dari 2 sepupu terdekat gue. Meskipun gue lebih deket sama adeknya, gue~bisa dibilang~ngefans sama dia.
Singkat cerita, dari pengalaman hidupnya, gue belajar bahwa Tuhan selalu punya rencana yang lebih indah daripada rencana kita. Rumit, mungkin. Tapi pasti lebih baik.

To my lovely cousin, Mba Pu..
I wish you a happy life from now on.

Jumat, 19 Februari 2010

Unfortunately in love with living-unemployed

Sudah lebih dari setengah tahun gue jadi sarjana, tapi belum juga punya pekerjaan. *menghela napas* Bukannya nggak mencoba, tapi gue selalu gagal di tahap wawancara. My mom (yang selalu mengaitkan segalanya dengan jumlah lemak di badan gue) said that gue pasti berhasil kalau kurus. Sementara gue berpikir bahwa... Mm... *angkat bahu* Sebenarnya, gue bingung kenapa gue selalu gagal di tahap wawancara.

Singkat cerita, sampai sekarang gue masih pengangguran. Tentu saja, gue masih menulis cerita-cerita fiksi. Tapi, pengalaman (pribadi dan orang lain)membuktikan bahwa proses dari ide sampai jadi buku bisa makan waktu setahun. Dan, hanya benar-benar menghasilkan uang selama setahun juga. In the real world--terutama di negara kita yang belum bisa memberikan penghargaan maksimal kepada dunia cerita--kenyataannya menulis nggak bisa dikategorikan sebagai pekerjaan. Nggak mungkin ada orang yang sanggup hidup HANYA dengan menulis. You should do something else too.

Menjadi pengangguran ditambah dengan pulangnya asisten rumah tangga (yang selanjutnya akan disingkat menjadi a.r.t) gue untuk selamanya ke rumah orangtuanya yang dibangun di atas gunung (beneran! gue udah pernah ke sana) membuat gue punya kewajiban tak tertulis untuk menggantikan tugasnya. Sebenarnya, mungkin lebih tepat kalau dibilang gue mengambil alih kembali tugas-tugas nyokap yang selama ini dikerjakan oleh a.r.t itu.

You know, selama beberapa tahun terakhir, gue mengurus diri sendiri: nyuci baju, setrika, masak, dll, untuk diri sendiri. Termasuk nyapu dan ngepel kamar sendiri. Jadi, ketika gue harus nyuci baju semua orang yang tinggal serumah sama gue, dan masak buat adek2 gue, gue bisa melakukan semua itu dengan baik. No problemo. Bahkan, gue menikmatinya.
Gue suka dengan perasaan dibutuhkan yang muncul ketika adek gue dengan nada bossy bilang dia pengen bawa bekal besok pagi. FYI, itu berarti gue harus begadang supaya nggak kesiangan bangun, dan baru beranjak tidur setelah adek gue pake seragam lengkap, siap berangkat ke sekolah.
Gue juga suka berbalas melotot sama adek gue ketika dia marah-marah nyariin celananya yang mau dia pake. "Tadi pagi ada di sini!" katanya sambil nunjuk tiang jemuran. Sementara gue dengan suara sama keras membalas "Well, it's not there anymore!"
Hehehe..
Lama-lama gue jadi makin malas nyari kerjaan kantoran. Bangun pagi, duduk seharian, dan pake baju bagus yang bikin gatel. Belum lagi, sosialisasi dengan obrolan yang isinya gosip melulu. Nggak tau, deh, gimana gue bisa survive di sana.
Anyhow, I'll be there eventually. Tapi, sekarang, gue masih mau menikmati dulu kehidupan pengangguran gue yang super-busy.