Jumat, 11 Desember 2009

Resolusi

Hampir minggu ketiga di bulan terakhir tahun 2009. Orang-orang mulai membahas soal resolusi.

To be honest, gue nggak pernah membuat resolusi di awal tahun. Gue membuat resolusi pada hari ulang tahun gue. Di setiap akhir april.

Heart Tree

I think heart is a plant.

Every time I fall in love, a branch grows. Every time I learn something new about the man I fall in love with, a leaf grows or maybe a flower.

Every time I fail in love, that particular branch stops growing. It might even be dead. But, my heart will stay alive.

Writing 102: Stay Focus!

Ah! Sudah lama membolos, akhirnya gue menulis lagi seri writing ini.

So? Gimana perkembangan latihan menulisnya?

Kali ini, gue masih akan menulis tentang topik. Setelah menemukan topik yang memuaskan dan mulai menulis, masalah yang biasanya mengikuti adalah kesulitan untuk tetap berada di jalur utama. Sangat besar kemungkinannya, hanya gue yang mengalami ini sebagai akibat dari sifat-sifat dasar yang pembosan dan mudah teralihkan. Tapi, untuk lo yang mungkin mengalami hal yang sama, gue akan memberikan tips-tips yang sering gue coba.

Pertama, buatlah kerangka karangan. Waktu sekolah, gue benci banget bikin kerangka karangan. Kerangka karangan bikin gue merasa terpenjara dalam batasan-batasan yang gue buat sendiri. Tapi, itu dulu. Sekarang, gue malah merasa sangat terbantu oleh si kerangka karangan.

Kuncinya adalah jangan membuat kerangka karangan yang terlalu mendetil. Buatlah yang singkat! Kerangka karangan gue biasanya hanya memuat satu-dua kalimat per bab. Ini akan membebaskan imajinasi lo tanpa membuatnya melenceng terlalu jauh. Melenceng dikit aja sih nggak pa-pa. Kalo naskah lo diterima penerbit, editor akan sangat membantu untuk meluruskan.

Berikut ini adalah kerangka karangan gue untuk TDLC:
1.Ibu koma.
2.Widya akan melakuksn apapun untuk membuat ibunya sadar.
3.Ibunya meninggal.
4.Kesepian dan putus asa, Widya mengambil keputusan-keputusan yang disesalinya kemudian dan berteman dengan orang yang salah.
5.Ayah menganggap Widya butuh teman bicara, tapi tidak mau putrinya salah memilih teman lagi. Ia menjodohkan Widya dengan putra rekan kerjanya.
6.Widya akhirnya pasrah menghadapi jalan hidup yang dia hadapi. Ia sudah letih membuat rencana-rencana. Toh, akhirnya semua rencananya berantakan.
Dan seterusnya...

Biasanya, kehilangan fokus juga terjadi karena kita lupa mau nulis apa. Yah, ide memang bisa muncul di mana aja—ketika kita lagi nongkrong di WC, duduk ngantuk dalam bis kota, atau lagi ngelamun sambil dengerin dosen ngajar di kelas—dan waktu kita siap untuk nulis lagi, ternyata kit udah lupa ide yang sempet terbersit itu. Damn! I hate that! Akhirnya, kita jadi nulis sesuatu yang sama sekali beda, yang terus membuat kita melenceng dari apa yang awalnya kita rencanain.

Solusi gue untuk masalah ini sebenernya guampaang buangeet. Bawalah notebook!

Maksud gue bukan laptop atau sejenisnya, tapi notebook beneran. Buku tulis. Nggak usah gede-gede. Punya gue ukurannya cuma A6 dan bisa dimasukin ke tempat pensil. Mungkin terdengar kuno. Hari gini, jaman orang-orang bawa laptop, masa gue bawa buku tulis? Tapi buku tulis ini kelak akan jadi harta berharga lo ketika lo udah memulai langkah untuk jadi penulis. Lo akan menulisi buku ini dengan berbagai macam ide yang tiba-tiba muncul, kapanpun, dimanapun, apapun itu.

Bayangin aja kalo lo lagi di bis kota, ngelamun sambil ngeliatin orang di pinggir jalan, terus tiba-tiba dapet ide. Kalopun lo bawa laptop, it will be hard and risky to open it, right? Buku tulis sangat praktis. Lo bisa langsung nulis apapun yang terlintas di kepala lo. Kalopun ternyata nggak relevan dan nggak bisa dipake dalam cerita yang lagi lo tulis—trust me!—lo nggak akan pernah lupa sama ide itu. Suatu ketika lo butuh, lo tinggal buka buku tulis kecil lo lagi dan ide itu masih akan ada di sana, menunggu saat-saat yang tepat untuk membantu lo jadi penulis terkenal.

Sudah semakin gemas untuk jadi penulis? Kalo lo mau skip dan langsung kirim naskah ke penerbit, silakan, lho! Gue akan tetap menulis langkah demi langkah di seri writing ini.

Sabtu, 05 Desember 2009

Freaky Friday

I was watching Spongebob Squarepants with my baby sister. We're eating batagor Burangrang while watching. It was a nice afternoon. Then,I heard it. Scratches at our ceilings. I turned down the volume. It sounds like someone scratched our ceilings. Someone. It's to big to be cat's scratches, let alone rat's. I turned off the TV and it stopped.

It was night already. The sky was dark and the wind blew coldly. I told my baby sister that I'm going to iron our clothes. I went to the walking closet and opened the door. That is when I heard another scratches. Those scratches came from outside the window which is facing our backyard. The scratches stopped right after I turned on the light.

I turned the light back off and closed the door, decided that I'll iron the clothes the next day, after the sun is up.

I called my dog, Perro, and told her to go to the backyard for there might be rats. But, she came back very soon and rolled up in front of my door. It was enough to inform me that there was nothing in the backyard. And I got scared.

Kamis, 03 Desember 2009

Couldn't be worse

Hari selasa lalu, tanggal 1 Desember 2009, gue dipanggil untuk interview kerja di sebuah perusahaan sales & marketing farmasi asal Jepang.
I was the first among others. Waktu gue masuk, gue dihadapkan pada dua orang yang memperkenalkan diri sebagai HR manager dan direktur perusahaan. Gue kaget, tentunya... Interview awal langsung ketemu direktur?
Terus setelah sekitar setengah jam wawancara, si direktur pergi. Gue udah "alhamdulillah" dalam hati. Ternyata dia masuk lagi sama orang lain. Si orang lain ini menyalami gue dan bilang "Nice to meet you."
Terus si HR manager dengan santainya minta gue melanjutkan menjawab dengan bahasa Inggris. Cantik!

Jumat, 13 November 2009

My love for Kelly...


Menulis mengingatkan gue pada Kelly Purwanto, he whose name is written inside my first published novel. Gue harus mengaku bahwa rasa bersalah atas pengkhianatan gue pada Garuda Flexi Bandung untuk beralih ke Pelita Jaya Esia menuntun gue menulis blog ini.

Gue bukan penggemar basket. Buat gue, bahkan, olahraga hanya menarik kalau gue duduk di bangku penonton. Itupun, gue tetep nggak suka basket. Not until I saw him. Kelly Purwanto membuat gue jatuh cinta pada basket.

Semua berawal di Sabtu sore yang membosankan. Nggak ada acara bagus di tivi. Adek gue, yang penggemar basket, akhirnya ngajak nonton IBL. Di tivi, tentunya. Gue mempersiapkan diri untuk menjadi bosan dan jatuh tertidur.

Tapi gue nggak butuh waktu lama untuk berubah pikiran. Satu sosok di lapangan membuat mata gue terpaku. Dia begitu berbeda. Dibandingkan dengan yang lain, dia begitu kecil dan pendek, dan hitam. Tapi, di waktu bersamaan, dia begitu menyita perhatian gue. Dia bergerak bagai kilat. One moment here, tau-tau udah di ujung lain lapangan.

And, of course, I googled him. Dan ternyata dia hebat.

Kelly Purwanto bukan hanya membuat gue jatuh cinta pada basket.
Kelly Purwanto menginspirasi gue dalam banyak hal.
Kelly Purwanto membuat mata gue terbuka waktu kantuk melanda di saat-saat yang nggak tepat.

Maka, para penggemar Garuda Flexy Bandung, maafkanlah pengkhianatan gue... Kesetiaan gue di dunia basket sebenar-benarnya hanyalah untuk Kelly...

Selasa, 10 November 2009

Writing 102: What To Write?

Hello!

Sudah banyak membaca dan banyak menulis? Don’t stop!
Setelah ngaku “Gue juga pengen jadi penulis,” banyak yang bertanya, “Paling oke, nulis apa, ya?” Well, menurut gue, you can write about everything.

Kalo untuk latihan, gue, sih, menyarankan: menulislah dari hal-hal kecil. Update status, misalnya. Kalau punya BB, handphone dengan GPRS, atau akses internet di rumah, berarti lo punya wadah untuk banyak-banyak latihan. Gunakan! Usahakan jangan menulis status yang standar. Tapi, coba dengan bahasa yang menunjang karir menulis lo. Namanya juga latihan.

Kalo mau lebih banyak latihan, tulislah blog! Kan, gratis. Jadi, nggak akan merugikan secara finansial. Kalo nggak mau nulis tentang keseharian, tulislah tentang hal-hal yang menarik buat kalian. Atau, tentang hal-hal yang lagi banyak diomongin orang. Tapi, kalo kalian bercita-cita jadi penulis fiksi, tentunya, akan jauh lebih baik kalo kalian menulis cerita fiksi.

Cerita fiksi nggak harus panjang dan bertele-tele. Cerita pendek tentang seorang cewek yang kelaparan di tengah malam, kehabisan LPG ketika berencana bikin mi instan, baru ingat kalo nggak punya uang cash ketika sudah siap dial 14045, dan akhirnya harus puas dengan dua lembar roti tawar juga bisa dikategorikan cerita fiksi, lho! Apapun, asalkan nggak terjadi dalam kehidupan nyata si penulis, adalah fiksi.
Berdasarkan pengalaman, berbagai hal bisa jadi ide yang bagus untuk ditulis. Yang lebih penting peranannya adalah pengembangan cerita dari si penulis. Misalnya kalian melihat ada kucing hitam di pinggir jalan, mengingatkan pada rumor bahwa kucing hitam bawa sial. Kembangkanlah jadi: gimana kalau ada kucing hitam yang bawa keberuntungan? Terus, berjalanlah mundur: kenapa si kucing hitam bisa bawa keberuntungan? Kembangkan lagi: kepada siapa aja si kucing hitam membawa keberuntungan. So on... So on...
Nggak perlu takut cerita kalian basi! Yang penting adalah kalian belajar untuk menulis. Malah, kalo saran gue, jangan menulis cerita yang terlalu orisinal dalam blog. Soalnya, pencurian dan penyaduran sangat rawan terjadi di dunia maya, kawan... Dan, salah satu kiat terampuh untuk menjadi kreatif adalah dengan merahasiakan ide-ide lo.

Kalo takut cerita kalian dicuri atau disadur, jangan di-publish! Tulis aja di buku, atau ketik di PC (atau laptop, atau notebook, atau netbook, or whatever). Memang, ada kekurangannya. Karena nggak ada yang baca cerita kalian, kalian jadi nggak bisa tahu apa cerita itu udah oke atau belum di mata publik. Kalian bisa kasih lihat ke teman, tapi penilaiannya pasti subyektif. Saran nekat gue, sih, kirim aja ke penerbit! Kemungkinan terburuknya adalah naskah kalian dikembaliin. Kalo itu terjadi, kalian kembali ke titik ini. It can’t be worse! Atau, kalau kalian cuma sekedar butuh second opinion yang obyektif, silakan kirim ke email gue di marsczha@yahoo.com. Tapi, jangan lupa kasitau gue kalo kalian ngirim sesuatu, ya? Soalnya, gue punya kebiasaan buruk membuang segala sesuatu yang sekilas nggak terlihat penting.

Keep writing, guys... Gue akan update seri writing ini dengan topik berikutnya begitu menemukan kesempatan di tengah waktu luang gue. Hoho...

Kamis, 08 Oktober 2009

Writing 101: Knowing What to Write

Writing 101 berikutnya akan membahas topik-topik untuk ditulis. Masih dengan bahasa dan gaya menulis gue. Tapi, ulasan lengkap harus menunggu laptop tercinta selesai rawat inap. Tampaknya ia sedang kena flu. Tunggu dengan sabar, ya?

Minggu, 27 September 2009

like a zombie

Akhir-akhir ini, gue nggak well.

Padahal udah nggak perlu terbagi antara fiksi dan skripsi. Tapi, dalam banyak hal, gue masih merasa banyak waktu yang hilang begitu saja dalam hidup gue. Entah ke mana.

Dalam banyak hari, gue jadi bangun pagi. Padahal malamnya masih harus berperang dengan insomnia. Bangun pagi juga bukan pagi yang produktif. Kalo dipikir-pikir, yang gue kerjain cuma minum susu, ngompres luka, makan pagi, minum obat terus mandi. Tahu-tahu udah siang.

Selera makan juga memudar. Nggak gampang kenyang, tapi juga nggak lapar. Hmm... Rasanya hidup nggak berarti.

Rabu, 26 Agustus 2009

Writing 101: How To Be A Writer

Hi there!

Sejak TDLC diterbitkan, banyak teman lama yang mengirimi gue email dan ngajakin chat kalo gue lagi online. Bahkan, ada yang SMS. Heran juga! Ternyata banyak yang tahu nomer HP gue. Hehehe... Email, chat, dan SMS yang berdatangan, tentunya, mengucapkan selamat. Banyak juga yang minta dikirimin gratisan. Tapi, yang menarik, ada beberapa yang malah curhat.

Gue sampai sempat menyesal. Gue kurang peka terhadap keinginan dan cita-cita teman-teman gue. Baru sekarang, setelah bertahun-tahun temenan, gue tahu ada beberapa temen yang pengen jadi penulis juga. Email, chat, dan SMS dari mereka, selain ucapan selamat, juga berisi pertanyaan-pertanyaan soal jadi penulis. Mengulang-ulang hal yang sama, akhirnya, membuat gue memutuskan untuk menulis blog ini.

Writing 101: How To Be A Writer

Gimana sih caranya jadi penulis?

Begitulah pertanyaan yang paling sering ditanyakan kepada gue. Gue menjawab dengan jujur: Ya, menulis. Yang gue heran, mereka semua tertawa.

Kalau mau jadi penulis, ya harus menulis, kan?

Menurut gue, salah satu faktor penting yang membantu gue sampai bisa jadi penulis adalah tugas-tugas mengarang semasa SD dan SMP. Dulu, guru-guru bahasa selalu ngasih tugas mengarang setiap habis liburan. “Buatlah karangan tentang liburan kalian kemarin!” katanya. Gue benci banget tugas itu. Soalnya, ortu gue jarang ngajakin jalan-jalan. Kalau liburan, paling gue nginep di rumah kakek-nenek gue: bangun siang dan main seharian. Sama sekali bukan liburan yang menarik untuk dijadikan bahan tulisan. Karena gue orangnya nggak mau kalah, gue merasa tertantang untuk membuat bahan yang nggak menarik itu, setidaknya jadi tulisan yang enak dibaca. Di situlah, gue mulai belajar.

Waktu SD, gue juga menulis buku harian setiap hari. Isinya jangan ditanya. Hampir setiap lembarnya berisi kalimat-kalimat norak seperti “Hari ini, dia duduk di sebelahku” atau “Udah 2 hari dia nggak masuk sekolah. Kenapa, ya?” Bikin merinding. Tapi, gue heran melihat gaya tulisan gue di waktu SD sudah jauh lebih baik daripada gaya tulisan adik bungsu gue.

Adik bungsu gue sekarang kelas 2 SMP, tapi tata bahasanya berantakan. Dia belum bisa meletakkan titik dan koma dengan benar. Dia juga belum bisa membedakan mana yang awalan dan mana yang kata sambung. Usut punya usut, adik gue nggak pernah dapet tugas mengarang dari sekolah. Betapa memprihatinkan pendidikan pada masa ini, ya?

Well, practice makes perfect.

Cara lain yang juga penting untuk melatih kemampuan menulis adalah banyak-banyak membaca. Gue sendiri memang hobi banget membaca. Komik, novel, buku-buku psikologi, bahkan kamus dan ensiklopedia pun gue baca. Gue jarang baca koran karena halamannya lebar dan susah dipegang.

Membaca itu penting karena bisa menambah pengetahuan. Menurut gue, pengetahuan itu penting untuk jadi penulis. Misalnya, lo mau menulis fiksi romantis tentang seorang pemain basket. Ya, lo harus tahu hal-hal mendasar tentang basket. Jumlah pemainnya, ukuran lapangannya, peraturan-peraturan dasarnya. Kalau gue baca novel-novel lain, hal-hal sepele kayak gini biasanya jarang ditulis, terutama kalau si penulis pakai first person point of view. Tapi, gue prefer limited third person point of view dan hal-hal kecil kayak gini bisa membantu banyak untuk membangun suasana. Trust me!

Selain menambah pengetahuan sepele, apa yang lo baca juga bisa jadi contoh yang bagus untuk menulis. Gaya bahasa, misalnya. Saran gue, sih, bacalah buku yang buanyaaaak! Bukan dari penulis favorit lo aja, tapi juga penulis-penulis yang namanya sama sekali nggak lo kenal. Lo akan kaget menemukan begitu banyak hal yang bisa lo pelajari dari buku-buku yang ditulis orang lain.

So many things to say, so little time... Tunggu Writing 101 berikutnya, ya?

Kamis, 20 Agustus 2009

been lazy...

wah, udah lama blogging...

tapi hari ini nggak sempat...

besok, deh, ya?

Senin, 25 Mei 2009

anak durhaka

Gue bikin nyokap nangis kemaren...

Gue amat sangat sedih dan menyesal sekali. Tapi, ya sudahlah... Itu sudah berlalu. Gue udah say sorry dan akan menebusnya dengan membantunya bikin laporan PPI.

Rabu, 06 Mei 2009

HELP!

Buanyak buanget hal yang harus gue kerjain belakangan ini. Need help! Big help!

Rabu, 29 April 2009

bashing in violet

Sejak terakhir nge-blog, gue kesulitan log in ke blogger. Gue sempat berpikir, blogger menolak gue karena, saking kerennya, gue mengancam kelangsungan hidupnya. Tapi, itu mustahil. Blogger bahkan nggak punya otak. Seperti kata Arthur Weasley, jangan percaya apapun yang bisa berpikir sendiri kalau kau tidak bisa melihat di mana otaknya. Tapi, sudahlah...

Hari ini gue ulang tahun. Dan, ini adalah kedua kalinya gue menjalani hari ulang tahun dalam keadaan flu parah. Tahun kemarin juga begitu. Kepala pusing, hidung mampet, mata berair terus menerus, dan suhu badan meningkat. Gejala yang persis sama. Tapi, tentunya, ada yang berbeda.

Gue termasuk orang yang sangat jarang sakit. Masa sekolah dulu gue sakit setahun dua kali, maksimal. Bahkan ketika demam tinggi, gue nggak pernah absen dari sekolah, kecuali satu hari menjelang Natal setiap tahunnya. Itu adalah hari dimana gue diajak nyokap belanja pernak-pernik Natal. Tawaran yang sangat sulit untuk ditolak.

Beberapa tahun belakangan, gue jadi sering sakit. Penyakit yang gue derita pun jadi semakin beragam. Tahun ini, misalnya. Tahun kemarin gue masih bisa ketawa-ketiwi sama nyokap di mobil, meskipun kepala pusing. Tahun ini gue bahkan kesulitan berjalan lurus. Tahun kemarin hidung gue mampet cuma kalo bangun tidur. Tahun ini hidung gue mampet setiap saat. Bahkan, sempat berdarah segala. Tahun lalu mata gue berair doang. Tahun ini air mata gue mengalir terus sampai-sampai adek gue mengira gue nangis.

Kalo dipikir-pikir, sih, kondisi gue sekarang, bukan gara-gara penyakit yang berkembang. Bukan juga gara-gara usia gue yang bertambah. Bukan karena sistem imun gue melemah. Gue sakit sampai kayak gini karena so many things to do, so little time.

Skripsi gue terancam mandek lagi. Yang berarti, gue terancam DO. Damn! Di waktu yang bersamaan, gue harus mengurus dekorasi buat prom-nya adek gue. My mother’s idea. Gue suka kerjaan-kerjaan kayak gitu, sebenernya. Tapi, kayaknya waktunya lagi nggak tepat aja. Belum lagi, segala urusan pribadi yang harus gue kerjain. Cuci dan setrika baju, masak, dan nyari duit. Gue nggak punya waktu untuk mikirin kesehatan. Sampai, akhirnya, kesehatan gue menjerit-jerit minta perhatian. Well, she got my full attention now.

Rabu, 25 Februari 2009

review TDLC

Ternyata udah banyak yang review The Devil Loves Cinnamon, lho... Yang belom baca, pasti makin penasaran. Baca review-nya aja dulu... Klik link-nya di sini, ya?

Makasih banyak buat mereka yang mau repot-repot menulis tentang TDLC. Yang lainnya masih ditunggu...

Sabtu, 21 Februari 2009

The Hair

Ima Marsczha loves her hair! Kayaknya semua orang yang kenal gue cukup baik tahu hal ini.

Gue memang sayang banget sama rambut gue. Tapi sangatlah sulit membuat gue mau meluangkan waktu untuk nongkrong di salon. Terakhir kali gue menginjakkan kaki di salon, kalo nggak salah akhir tahun lalu. Itu pun untuk jemput nyokap yang emang hobi banget sama salon. Selama beberapa tahun terakhir, gue, bahkan, selalu memotong rambut di tempat favorit gue: kamar tidur. Dan, hasilnya belum pernah mengecewakan.

Terakhir kali membiarkan orang lain megang-megang rambut gue, kalo nggak salah sekitar tahun 2006. Waktu itu, gue memutuskan untuk memberi highlight di rambut hitam gue. Keputusan yang sangat tepat karena memang warna hitam paling oke kalo dihias sentuhan warna shocking pink. Garis-garis pink itu mem-boost up rasa percaya diri gue sampai dua kali lipat. Padahal, tanpa highlight pun, PD gue udah 1,5 kali orang lain pada umumnya.

Baru-baru ini, ketika memuaskan nafsu window shopping dengan jalan-jalan di kaboodle, gue menemukan foto yang sangat menarik. Seorang cewek dengan rambut ungu sepanjang bahu. FYI, gue dilahirkan dengan super straight hair and I hate it. Gue selalu berusaha membuat rambut gue bergelombang, meskipun harus sakit kepala karena kelamaan menanggung cepol ekstra ketat atau tidur nggak nyenyak karena rol-rol rambut bergelantungan. But, she looks cute dengan super straight hair. Cewek itu mengingatkan gue dengan sahabat gue sejak SMP yang suka banget sama warna ungu. Gue pun langsung memotong rambut gue. Puas! Tapi, entah kenapa, setelah dipotong, rambut gue jadi bertekstur dan kering. Akan gue rawat dulu untuk sementara ini. Tapi, cat rambut warna ungu sudah masuk dalam things to do gue.

Sabtu, 14 Februari 2009

Bakmi Legit

Akhir 2008 lalu, untuk keperluan peluncuran The Devil Loves Cinnamon, gue butuh koneksi internet A.S.A.P. Menyebalkannya: baru —lima menit berlalu setelah gue offline dan berleha-leha di kamar ber-AC—lah, pihak penerbit mengabari gue bahwa mereka butuh reply sesegera mungkin dari email yang baru mereka kirim. Yang lebih menyebalkannya: lampu PPP di modem gue nggak mau nyala. Yang semakin menyebalkannya: di Pamulang—meskipun sudah berdiri Pamulang Square dan sedang dibangun satu Square lagi yang gue belom tau namanya—tidak ada satu pun tempat yang memfasilitasi wireless connection, kecuali UnPam. Tapi, kan, nggak mungkin, dong, gue ujug-ujug main ke kampus orang sekedar numpang mengunduh sebuah dokumen.
Mau nggak mau, pergilah gue ke BSD naik angkot sambil menggendong Scarlet dalam chocolate quilted bag gue. BSD sangat bersahabat, tentunya. Meski semua bangku empuk di hot-spot area-nya penuh dengan manusia, satpam baik hati menunjukkan kepada gue tempat lain yang nggak termasuk hot-spot area tapi kecipratan wireless connection. Selesai mengunduh, gue pun bergegas menggendong Scarlet melalui perjalanan yang jauh lebih panjang—karena lagi jam orang pulang kantor—kembali ke Pamulang. Gue harus mencetak dokumen yang udah gue download itu, gue tanda tangan dan gue fax kembali ke kantor penerbit. FYI, printer di rumah gue udah lama rusak. Yah, lo bisa bayangkan, lah, bagaimana perjalanan gue hari itu. Btw, akhirnya, setelah gue mencoba mengirimkan kembali dokumen itu—via fax—ternyata semua orang di kantor penerbit telah berada dalam perjalanan menuju rumah masing-masing. *sigh*
Dua paragraf di atas sebenarnya cuma pengen menggambarkan betapa koneksi tanpa kabel telah mengirim gue ke neraka dengan ketidakhadirannya dalam jangkauan. Tapi, sekarang, gue tidak perlu lagi mengalami hal itu. Ha! Ha! Ha! Ha! Entah orang Pamulang mana yang dengan sangat baik hatinya—dan pandai melihat peluang keuntungan, tentunya—telah membuka sebuah tempat nogkrong baru di Pamulang. Namanya Bakmi Legit.
Gampang banget, deh, jatuh cinta sama tempat ini. Bakmi Legit adanya di pinggir Jl. Pajajaran, deket Lapangan Tenis. Tempatnya sangat eye catching karena dia pasang papan nama besar di depannya.
Bakmi Legit memfasilitasi koneksi internet tanpa kabel yang sangat kuat dan cepat. Tempatnya juga nyaman banget. Ada kolam ikannya, dihuni oleh banyak ikan koi dan dua ekor kura-kura. Ada ayunan kayu yang jadi favorit adek bungsu gue. Ada juga fasilitas BBQ.
Makanannya juga nggak mahal-mahal banget. Gue pernah pesen ice chocolate, ice cappucinno, ice lemon tea, guava fresca (jambu batu + strawberry + lemon + susu + gula tebu), bubur ayam, mie ayam, mie ayam spesial (mie ayam + kuah + jamur + pangsit goreng + pangsit rebus + baso), jus alpukat, sop buntut goreng + nasi, french fries plus groliette (semacam chocolate cake) dan cuma bayar 150rb lebih dikit. Kalo soal rasa, tergantung selera, kali, ya? Menurut gue, ice chocolate, mie ayam dan sop buntutnya enak aja. Ice cappucinno dan groliette-nya mengecewakan. Tapi, guava fresca, frech fries dan fruit punch-nya enaaaaaak banget!
Gue betah banget di sana dan pernah online sampai berjam-jam. Nggak diusir, dong! Kan, pesen makanannya buanyaaaak! Hehehe... Pokoknya, di Pamulang perlu ada lagi tempat-tempat kayak gini. Tingkat kebutuhannya tinggi dan sayang banget kalo nggak terpenuhi. Kalo ada yang mau modalin, gue mau, kok, mengelola tempat kayak gini. Cake bikinan gue, rasanya pasti lebih oke. Hehehe...

pujian vs kritik

Terima kasih, ya, buat mereka yang udah beli The Devil Loves Cinnamon. Terima kasih juga buat mereka yang mengharapkan, tapi—maaf—gue udah nggak punya lagi gratisan. *hiks!*
Gue memang norak. Gue googling The Devil Loves Cinnamon every once in a while sejak buku itu diterbitkan. Awalnya, yang nongol cuma toko-toko buku online, website penerbit tercinta GagasMedia dan situs-situs sosial. Tapi, sekarang udah ada yang menulis tentang kisah cinta Widya dan Ananta itu—The Devil Loves Cinnamon memang bukan horor tapi love story—di blogger. Udah ada juga—buanyaaaak—yang komentar langsung ke gue, baik face to face, via SMS, email maupun situs-situs sosial.
Gue seneng komentar-komentar itu semuanya bagus. Ada yang bilang The Devil Loves Cinnamon membuat dia menyadari banyak hal. Ada yang bilang bagus dan inspiring. Ada yang kagum karena gue bisa ngomong blak-blakan soal Tuhan dengan cara yang ringan. Bahkan, ada yang bilang kalo The Devil Loves Cinnamon adalah one of the greatest books she ever read. Pastinya, sih, semua pujian itu, selain tumpah ke gue, harus nyiprat juga ke editor The Devil Loves Cinnamon, Iwied, yang secara nggak sengaja punya nama depan yang sama dengan tokoh utama ceritanya. Hehehe...
Tapi, gue, secara pribadi, malah mengharapkan hinaan. Satu-satunya kritik yang pernah gue terima adalah bahwa The Devil Loves Cinnamon selesai dibaca oleh temen gue, Mega Suananda (I love you!), dalam 1,5 jam aja. Kependekan, katanya. Tapi, kalo ditelusuri balik, jatohnya itu jadi pujian karena tujuan awal gue adalah untuk menciptakan cerita yang ringan tapi bermakna dan tujuan itu tercapai.
Menurut gue, karya pertama menciptakan standar bagi seorang pencipta. Jadi, The Devil Loves Cinnamon adalah standar buat gue, yang artinya karya gue berikutnya harus lebih bagus daripada kisah cinta Widya dan Ananta. Di sinilah peran kritik jadi penting banget buat gue. Kritik memungkinkan gue memperbaiki diri di karya gue berikutnya. Iya, kan?

Rabu, 11 Februari 2009

kewajiban vs kemampuan

Kayaknya, beberapa minggu terakhir ini, gue gampang banget pegel-pegel. Wajar, sih, kalo dipikir-pikir lagi. Gue harus nenteng-nenteng si Scarlet ke mana-mana demi dapet akses wireless connection yang gratisan. Maklum, internet di rumah lagi dicabut sama telkom. *sigh!*

Perasaan gue, Scarlet udah enteng banget. Tapi, kalo beberapa hari berturut-turut nggandulin bahu gue, pegel juga, pastinya. Habis, gimana, dong? Kebutuhan, sih. Demi skripsi dan nyari ide buat novel baru. Ditambah lagi, my little Bluebell, connection-nya suka ngadat. Yah, Scarlet-lah tumpuan kepuasan gue. I love her, by the way!

Curiganya, semua pegel-pegel dan bengkak-bengkak yang lagi gue alami ini adalah kontribusi tunggal dari faktor U: usia. Tapi, akhir April nanti, gue baru mau akan memasuki tahun ke-26 dalam hidup gue, yang artinya umur gue akan jadi 25 (and proud!) Nggak ngerti, deh! Bingung memikirkan usia dan kemampuan fisik yang berbanding terbaik ini.

Jumat, 06 Februari 2009

skripsi vs fiksi

Ima Marsczha loves writing! Gue merasa bisa jauh lebih jujur ketika gue menggunakan media tulisan untuk mengungkapkan isi hati gue. Tapi, entah kenapa, gue nggak bisa menyelesaikan skripsi gue dengan baik. Kenyataannya, gue menyelesaikan kuliah pada waktu yang tepat. Tapi, skripsi gue doang, nih, yang akhirnya jadi berlarut-larut sampai sekarang, kira-kira empat tahun berlalu.

Gue cukup bangga mengetahui tulisan gue, The Devil Loves Cinnamon, dianggap cukup layak untuk dijual. Tapi, gue juga ngerasa malu karena belum juga bisa menyusul temen-temen seumuran gue dalam bidang akademis. Mereka udah pada mau memetik gelar sarjana yang kedua. Sedangkan gue? Satu pun belum. *sigh!*

Masih jelas dalam ingatan gue. Masuk ke tahun kedua perjuangan gue memetik gelar, nyokap gue adalah orang yang paling kelihatan gelisah. Salah satunya, mungkin, karena adek gue yang kuliah di ITB menyuarakan kekhawatirannya. Intinya, nyokap gue mulai sering menanyakan, menyuruh, sampai memohon supaya gue menyelesaikan si skripsi. Tapi, gue bergeming. Antara putus asa, bosan, dan muak, gue berusaha sejarang mungkin menyentuh-nyentuh skripsi. Pertanyaan, makian sampai permohonan nyokap gue cuma masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Gue berubah jadi anak durhaka.

Juli 2008 lalu, gue menerima kabar baik bahwa naskah novel gue diterima oleh GagasMedia dan masuk ke tahap editing. Kabar baik ini pun gue sampaikan sambil sombong kepada nyokap dan adek2 gue. Mereka bahagia, tentunya. Dan, langsung minta traktiran. Perjalanan dari kabar baik itu, meski tidak mudah, tapi toh akhirnya sampai peluncuran di Januari 2009 ini.

Perubahan baik yang gue dapat dari peluncuran itu bukan hanya dari sisi finansial, dimana akhirnya gue punya sumber penghasilan sendiri. Tapi, juga dari hal lain. Gue menyadari bahwa nyokap gue sudah tidak pernah lagi memohon, menyuruh, bahkan menanyakan soal skripsi. Bahkan, ketika suatu pagi gue menelpon beliau jam tujuh pagi dan mengadu bahwa gue terbangun dan nggak bisa tidur lagi, nyokap malah nyuruh gue menulis novel baru, yang btw baru sampai tahap ide. Menurut gue ini adalah suatu terobosan besar. Soalnya, waktu nulis The Devil Loves Cinnamon aja, gue harus ngumpet-ngumpet bahkan pake bohong segala sama nyokap.

Nyokap gue udah nggak pernah lagi menyinggung-nyinggung soal skripsi. Yang gue heran, keinginan untuk menulis lagi malah muncul dari dalam hati gue sendiri. Baru mulai bulan ini, sih, gue mulai semangat lagi! Bahkan, gue berhasil menyelesaikan file excel gue, yang memungkinkan nilai-nilai yang gue butuh muncul secara otomatis begitu memasukkan data input, hanya dalam dua jam saja! Padahal, berbulan-bulan kemaren, gue sampe eneg mikirin formula yang tepat tapi nggak ketemu juga.

Huh! Intinya, apa pun yang kita kerjain, kalo dikerjain pake hati, emang jadinya guampaaaaaaaang buangeeeeeet!

Kamis, 29 Januari 2009


Judul : The Devil Loves Cinnamon
Penulis : Ima Marsczha
Harga : Rp25.000
Jumlah halaman : 252 hlm
ISBN : 979-780-300-7
Ukuran : 13 x 19 cm


Widya kaget melihat sosok laki-laki di hadapannya. Laki-laki berkaus pink itu adalah Setan. Ya, setan, setan sungguhan meski dia berkaus pink dan senang sekali mencium aroma kayu manis. Namun, jika sosok itu memang bisa mengabulkan permintaannya, gadis ini akan melakukan apa saja. Bunda tercintanya, yang sedang koma, harus sadar dengan cara apa pun. Permintaan yang cukup sulit—bagi si setan sekalipun. Setan yang berwujud laki-laki itu malah terjebak di dunia manusia, dalam kehidupan Widya. Dia baru bisa pulang jika permintaan Widya dikabulkannya. Saat mereka sibuk mencapai kata sepakat, diam-diam, Widya mulai sadar kalau dia mulai jatuh cinta pada Setan penggemar kayu manis itu.