Rabu, 03 Maret 2010

Chaotic Parliament: Empty Empathy

Kisah ricuhnya sidang paripurna DPR, 2 Maret 2010 kemarin, jadi perbincangan yang cukup seru di berbagai tempat. Kantor—gue yakin, di beberapa keluarga—mungkin, dan yang pasti di berbagai situs sosial, kayak facebook dan twitter. Gue, sebenernya, bukan tipe yang peduli dengan hal-hal itu. Bukannya apatis, gue cuma nggak mau sok tau tentang politik dan teman-temannya. Sejauh ini, gue belum merasa tertarik untuk mendalaminya.
Tapi, berita chaos-nya sidang itu membuat gue teringat akan berita beberapa hari sebelumnya. Tumben, gue nonton berita. Tapi, bukan itu yang mau kita bahas. Beberapa hari lalu, gue lupa kapan dan di mana, ada berita tentang tawuran pelajar yang dipicu saling ejek. Sore itu, gue berpikir, “Ya ampun! Cuma diledek aja, langsung jadi tawuran.” I’m not into fighting, apalagi untuk alasan yang sepele.
Tapi, mendengar ribut-ribut di sidang paripurna, gue jadi berpikir ulang. Wajar, kalau pelajar-pelajar jadi tawuran hanya karena saling ejek. Mereka dapat contoh yang luar biasa ‘bagus’ dari wakil-wakil rakyat yang kehidupannya kita biayai itu. Bukan sidang ini aja. Meskipun gue nggak ngikutin semua dari a sampai z, gue mendengar beberapa kali keributan yang juga dipicu saling ejek di sidang-sidang lain, kayak sidang pansus beberapa waktu lalu. Gue jadi berpikir, kalau gue adalah pelajar dan suatu hari gue ditangkep polisi karena tawuran, terus polisi yang interogasi gue nanya “Kecil-kecil udah berantem. Nanti, kalo udah gede, mau jadi apa?!” gue akan jawab “Jadi wakil rakyat.”
Lagi-lagi, gue nggak mau sok tau. Tapi, di sudut ingatan gue, ada omongan seorang dosen soal penelitian tentang agresivitas. Dalam penelitian itu, anak-anak yang disuguhi video perang dan kekerasan lain end up lebih agresif daripada anak-anak yang nonton Spongebob Squarepants dan Dora the Explorer. Penelitian ini mendukung pemahaman gue soal betapa wajarnya pelajar Indonesia yang lebur dalam tawuran gara-gara saling ejek karena sehari-hari mereka disuguhi tayangan politik di mana wakil rakyat saling ejek karena perbedaan pendapat dan end up dalam perkelahian—entah itu mulut maupun fisik.
So, folks… How do we prevent this from happening again in the future? Jawabannya satu: empati. Empati itu beda sama simpati, lho. Please, google to know the difference. Dulu, dalam sebuah tes psikologi yang gue lakukan untuk tugas kuliah, gue mendapati bahwa tingkat empati gue sangat tinggi. Bukan sombong. Malah, gue berpikir, ini merugikan. Apa-apa yang ’terlalu’ itu tidak baik. Empati yang ‘terlalu’ tinggi membuat gue sangat memikirkan orang lain dan jarang sekali bisa menikmati hidup dengan cara gue, yang dalam banyak hal berbeda dengan orang lain. Hidup gue penuh dengan ketidakpuasan. Tapi, gimanapun juga, empati itu penting!
Empati adalah, singkatnya, putting ourself in other’s shoes. Atau, memakai kacamata orang lain. Gee, I’m using another words from Andrei Aksana I heard at the workshop. Empati adalah merasakan apa yang dirasakan orang lain. Is it hard? Of course! At first. Tapi, gue rasa ini udah diajarin ke bangsa kita sejak jaman dahulu kala. Kan, orangtua-orangtua sering bilang “Jangan nyubit kalo nggak mau dicubit!” Itu bisa dibilang salah satu cara mudah ber-empati.
Does it really work?
Ini satu contoh. Tahun 2006 lalu, gue jadi fasilitator di salah satu program Yayasan Putra Bangsa. I served for five batches and dealt with many kinds of kids. Di batch terakhir, gue menjadi fasilitator dari sebuah kelompok di mana salah satu muridnya adalah anak paling buandel di batch tersebut. Masih kelas 5 SD, tapi anak-anak lain yang lebih tua pun nggak mau berurusan sama dia. Sejak pembagian kelompok, dia udah memanggil gue dengan berbagai sebutan, mulai dari “gendut”, “babi”, dan yang lainnya. Malah, dia pernah nanya secara frontal “Kak, kok, kakak gendut kayak sapi, sih?” Yeah! Mau marah, memang! Waktu dia tanya begitu, anak-anak lain memandangi gue dengan tatapan takut. I figured they’re afraid that I’m going to be mad and punished them. Tentunya, gue diijinkan untuk menghukum kalau memang diperlukan. Tapi, gue nggak merasa hal itu perlu dilakukan. Gue malah kasihan.
Di akhir batch, kami—para fasilitator—punya kebiasaan menulis surat pendek untuk setiap anak dalam kelompok masing-masing. Karena setiap kelompok anggotanya bisa sampai 10-11 anak, biasanya kami tidur larut di malam terakhir, tidak hadir di meja makan, dan menghilang beberapa jam sebelum bis menjemput anak-anak itu pulang, hanya demi menyelesaikan surat-surat itu. Surat gue untuk anak itu adalah surat terpanjang yang pernah gue tulis sepanjang seluruh program. Isinya kurang lebih menyatakan bahwa gue senang dia ada di dalam kelompok gue. Dia adalah anak yang aktif berpartisipasi, mau bertanya, dan nggak malu menjadi contoh buat teman-temannya. Tapi, sebagai ‘informal leader’ seharusnya dia bisa memberikan contoh-contoh yang baik dan menahan diri agar tidak melakukan hal-hal yang kurang baik, misalnya memanggil gue “babi”. I told him that I’m not mad. I didn’t. Tapi, gue tanya gimana kalau ada orang lain yang memanggil dia “babi”, atau panggilan lain yang berkonotasi buruk, apakah dia akan marah. Kebiasaan itu betul-betul perlu diubah, terutama karena nggak semua orang akan mampu bersikap seperti gue. Bisa jadi, seseorang yang dia panggil “babi” merasa sakit hati dan marah, terus menyewa preman untuk mukulin dia atau pergi ke dukun untuk nyantet dia—anak itu tinggal di daerah di mana hal-hal seperti ini ‘biasa’—atau, yang lebih parah, mukulin dan nyantet orang-orang yang dia sayang.
When he’s already sitting inside the bus, I gave him the letter through the window. I expected that he’ll call me “babi” again, but he didn’t. He asked me “Apa ini, kakak gendut?” Dengan senyum tersungging, gue menepuk-nepuk kepalanya dan bilang “Baik-baik, ya? Jangan nakal! Kakak pasti kangen sama kamu.” Terus, gue menghampiri teman-teman fasilitator yang lagi ngobrol dekat situ. Haha-hihi kami berhenti ketika seorang fasilitator bilang salah satu ‘anak’ gue nangis. It was him! Gue berbalik dan mendapati anak itu memandangi gue dengan mata dan pipi basah. Salah satu telapak tangannya menempel di kaca jendela, sementara surat yang gue tulis ringsek di genggaman tangannya yang lain.
Semua anak menangis pada saat perpisahan itu. Tapi, selama lima batch, anak itulah yang nangisnya paling kejer. Ketika gue menghampiri dia, dia udah nggak bisa ngomong lagi. Kata-katanya tertelan isakan. Akhirnya, gue bilang “Kakak tau” berulang kali sambil menepuk-nepuk kepalanya. Dia baru melepas tangan gue setelah bisnya jalan. Beberapa kali setelah itu, dia sempat sms gue. Katanya, dia udah jadi anak yang baik, orangtuanya lebih sayang sama dia, dan dia lagi belajar untuk ujian masuk SMP yang bagus dekat rumahnya.
You see? Anak itu nggak ngerti arti kata empati. Tapi, dia mau belajar untuk merasakannya. And it really worked for him. Willing to try, Bapak-bapak wakil rakyat?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar