Kamis, 25 Februari 2010

Karena waktu tidak akan menunggu

Gue baru menyadari bahwa orang-orang yang gue sayangi, yang penting keberadaannya dalam hidup gue, sudah menemukan The One jodoh orang yang akan berusaha untuk mengabdikan hidup bersama mereka. Well, most of them are. My Y-chromosome bestfriend is planning to tie the knot dan salah satu sepupu gue pun sedang merencanakan pernikahannya tahun ini.

Gue jadi berpikir... Selama ini, setiap kali ada yang bertanya, gue menjawab "After thirty." Dan, kalau ada yang ingin tahu, gue akan jelaskan bahwa gue adalah seorang pemimpi, dan my biggest dream adalah mengabdikan 24 jam sehari 7 hari seminggu dalam hidup gue untuk laki-laki yang mau merelakan peluhnya untuk gue dan anak-anak kami. A full dedication. Tapi, saat ini, tidak, terima kasih. Gue nggak yakin bisa memberikan full dedication kalau gue masih punya mimpi yang terkatung-katung tak terwujud.

I really think so. Tapi, akhir-akhir ini, gue jadi ragu sendiri. Jangan-jangan, alasan itu sebenarnya hanya sebuah pembenaran. Jangan-jangan, sebenarnya, gue cuma ngeles karena memang belum punya pacar dan merasa perlu menetapkan deadline sendiri untuk mencari that particular guy.

You know, suatu hari di masa lalu, adek bungsu gue pernah bilang, "Seperti yang kamu bilang, Bam." Jangan tanya kenapa dia memanggil gue dengan sebutan itu. Katanya lagi, "Waktu nggak akan berhenti untuk menunggu sampai kita siap. Dia akan terus berjalan, tanpa peduli apakah kita masih takut atau nggak, apakah kita sudah selesai mempertimbangkan segalanya atau belum. Dia akan terus berjalan. Dan, kalau kita nggak melakukan apapun, kita akan tertinggal." Memang, gue ingat, gue pernah bilang begitu sama dia. Gue nggak nyangka sama sekali, dia akan ngebalikin kata-kata itu ke gue.

She's right. I'm right.

Waktu memang nggak akan menunggu sampai gue punya pacar.  Waktu juga nggak akan menunggu sampai semua mimpi gue terwujud. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, pilihannya bukan hanya dua itu, kan?

Waktu memang masih terus berjalan. Dan akan terus berjalan. Tapi, gue juga nggak berhenti dan mengasihani diri. Gue juga ikut berjalan bersama waktu, sambil mewujudkan mimpi demi mimpi. Di jalan ini juga, that particular guy is raveling his thread of life. Dan, pada suatu titik, pada waktunya, kami akan berpapasan. Gue akan membuka mata dari mimpi-mimpi gue dan menyadari semuanya sudah hilang, sudah terwujud. Sedangkan dia akan mengangkat kepala dari rajutannya dan menyadari bahwa di depannya berdiri satu-satunya hal yang masih dia butuhkan untuk melengkapi rajutannya. Gue.

Rabu, 24 Februari 2010

One Person, Big Change

Tepat 24 jam yang lalu, my baby sister meninggalkan rumah untuk pergi retret selama 3 hari. Nggak jauh, rumah retretnya di daerah Bintaro, tempat yang sama ke mana gue pergi retret waktu kelas 3 SMA, 8 tahun yang lalu. Gue tau tempatnya, dan gue tahu that she'll have lots of fun there.

Tapi...

Oh, my God! Tanpa adek gue yang satu itu, rumah bakal terasa seperti kuburan. It already is.

Si bungsu di rumah gue itu adalah tanda tambah buat seluruh anggota keluarga yang lain. Kenapa tanda tambah? Here's one reason:
               Gue dan bokap gue tidak dekat. Karakter kami yang sama-sama keras bikin suasana jadi sangat
               panas kalau kami saling bicara. Dalam banyak kesempatan, gue menghindari pembicaraan itu.
               Tapi, adanya si bungsu dalam ruangan yang sama bisa bikin kita berdua jadi lebih lunak dan
               akhirnya bisa saling bicara tanpa ada bentrokan-bentrokan dan percikan-percikan api.

Selain itu, adek gue itu sangat talk-active dan sangat belly-active. Setiap pulang sekolah, dia akan ngintip ke kamar gue dan bertanya "Apakah sudah ada makanan?" masih dengan seragam dan ekor kuda yang basah karena keringat. Terus, setiap beberapa jam, dia akan bergulingan di tempat tidur sambil mengeluh "lapaaar..." *lol*

Hobinya memeluk. Kalo gue keluar kamar, dia akan menyambut dengan tangan terentang lebar. "BMB...." katanya. Jangan tanya! Gue juga nggak tau kenapa dia manggil gue dengan tiga huruf itu. Terus dia akan memeluk gue, meletakkan kepala di perut gue yang tebal. Biasanya, gue akan sengaja mempererat pelukan sampai dia megap-megap nggak bisa napas. Hehehehe...

Bukan itu aja. Dia suka minta diajarin matematika & bahasa inggris (2 bidang yang paling gue kuasai sekaligus paling nggak dia ngerti), susah minta ampun kalo disuruh bantuin nyuci baju, dan selalu meletakkan barang-barangnya di sembarang tempat di seluruh penjuru rumah. Nemu tumpukan buku tulis di ruang tamu? Atau kesandung sepatu di depan kamar? Di kulkas ada barang yang tidak pada tempatnya? That's her. Tapi, dia juga ngajarin gue banyak hal, mostly about life. Tentang ketegaran dan keikhlasan. Setiap kali gue merasa lagi dirudung kemalangan, ketika gue ingat dia, gue merasa apapun yang gue alami, belum ada separonya yang pernah dia lewati dalam hidupnya yang bahkan baru dimulai 12 tahun setelah gue lahir.

Tapi, tau nggak apa yang paling gue kangenin dari dia? Ada dua hal. Satu, ketawanya. Adek gue yang perutnya berlipet kayak roti kasur itu, kalo ketawa suaranya kayak abang-abang. Kenceng banget, lagi. Bisa kedengeran dari kamar gue yang letaknya di belakang rumah, padahal dia di kamarnya. Dua, baunya. Gue udah pernah cerita belum, ya, soal adek gue dan penyakitnya? Singkat cerita, penyakitnya itu membuat dia punya bau badan yang khas. Ditambah kebiasaannya yang jarang mandi, bau ini jadi pekat banget, terutama kalo dia pulang sekolah. Now, that she's not here, bau itu bikin kangen banget.

Hua... Harusnya gue jangan nulis post ini. I miss her even more! Off now... Wish it's Thursday already.

Writing 103: First Step to be a (famous) Writer

The journey of a thousand miles begins with one step, said Lao Tzu.

The first step is the hardest, said Marie De Vichy-Chamrond.


I agree with Lao Tzu. But, I have to say that the first step is not always the hardest. Sorry, Marie… No offense. Here's why.
Membaca posting ini berarti lo sudah membaca episode-episode sebelumnya dari serial writing yang gue tulis. Kalau belum, sebaiknya lo baca dulu sebelum melanjutkan. Klik link di bawah ini!

Writing 101: How to be a Writer

Writing 101: Knowing What to Write

Writing 102: What to Write?

Writing 102: Stay Focus!

Kalau sudah melakukan semuanya yang tertulis di tiga episode dari serial writing yang sebelumnya, berarti lo sudah menjadi penulis. Saatnya untuk melanjutkan ke tahap berikutnya: menjadi penulis yang terkenal. Sebelum kita mulai, perlu gue kasih tau dulu bahwa post ini akan jadi tulisan terakhir gue dalam serial writing.

Untuk menjadi penulis yang terkenal, sebetulnya nggak butuh banyak hal. Yang pertama, tentunya, lo harus sudah punya cerita. Nggak masalah apakah itu sebuah puisi, cerpen, atau novel. Yang penting cerita itu sudah punya bentuk fisik yang bisa dipegang. Kalau bentuknya masih soft copy, cepat cetak! Pengalaman pribadi mengajarkan gue bahwa bentuk fisik sifatnya lebih menuntut, terutama kalau selalu terletak di tempat-tempat yang terlihat mata.

Sudah ada di tangan? Bagus! Berikutnya, putuskan ke mana lo akan memberikan naskah cerita itu. Biasanya, kalau cerpen atau puisi, lebih umum dikirim ke media cetak, misalnya majalah atau tabloid. Tapi, kalau novel, sudah pasti harus dikirim ke penerbit.

Seperti yang pernah gue tulis, sebaiknya naskah cerita dikirim ke penerbit yang buku-buku keluarannya paling lo suka. Nggak suka baca buku? Urungkan saja niat untuk jadi penulis! Don’t ever think about it again! Penulis yang nggak suka baca buku sama aja kayak koki yang nggak suka makan.

Di Indonesia, banyak banget penerbit-penerbit yang cukup punya nama. Lo bisa cari alamat redaksi mereka di Google. Cara yang lebih sederhana adalah lihat di sudut kiri bawah sampul belakang novel favorit lo. Pasti ada.

Jangan lupa: setiap penerbit punya kebijakan sendiri soal naskah yang mereka terima. Biasanya, soal font, jumlah halaman, dan jenis cerita. Hargai kebijakan ini dengan mengikutinya! Jangan kirim naskah fiksi ke redaksi penerbit yang jelas-jelas nggak nerbitin buku fiksi! Kalau punya naskah 70 halaman, jangan dikirim ke penerbit yang punya kebijakan menerima naskah minimal 100 halaman! Cari penerbit lain yang sesuai.

Gue adalah tipe orang yang selalu punya (minimal) plan B. Jadi, ketika gue punya naskah yang siap dikirim, maka gue akan menyiapkan sedikitnya dua label dengan alamat penerbit yang berbeda. But, of course, gue cuma akan mengirimkan satu. Seorang penulis science fiction yang cukup terkenal di negaranya menyarankan untuk langsung mengirimkan naskah kita yang dikembalikan penerbit A ke penerbit B. “Kalau naskah lo dikembalikan, jangan buka amplopnya,” kata penulis itu. “Langsung tempel label alamat penerbit lain dan kirim lagi.”

Tapi, gue tidak menyarankan hal ini untuk dua alasan. Pertama, penerbit yang cukup punya nama biasanya menggunakan amplop yang udah di-personalized dengan nama mereka. Lo nggak mungkin mengirim naskah itu dalam amplop penerbitnya ke penerbit lain. Nggak etis. Kedua, berdasarkan pengalaman, ada penerbit yang menyertakan surat penolakan ketika mengembalikan naskah lo. Mungkin, surat itu isinya hanya penolakan. Mungkin juga disertai hal-hal lain, misalnya alasan penolakan atau, lebih bagus lagi, saran-saran perbaikan. In this second case, lo pasti pengen baca suratnya, kan? Penulis yang baik adalah mereka yang mau menerima saran, meskipun belum tentu melakukannya. Jadi, kalau naskah lo dikembalikan, buka amplopnya, periksa baik-baik isinya, pindahkan ke amplop lain, baru tempel label alamat dan kirim ke penerbit lain. Kalau ditolak lagi, kirim ke penerbit ketiga. Dan, seterusnya. Dan, seterusnya. Meskipun gue kurang setuju dengan saran si penulis sci-fi, gue harus akui bahwa gue banyak belajar dari dia. Beliau punya saran-saran yang lebih luar biasa soal tulis-menulis. Sayangnya, gue nggak bisa link dia di sini. I totally forgot his name. Sorry.

Tapi, ada banyak penulis lain yang punya tips-tips oke untuk menulis. Richard Harland dan writing tips-nya, misalnya. Beliau punya writing tips yang lengkap dan tersusun rapi. Keren banget dan totally helpful! But, I have to remind you, kalau banyak baca tips dari orang lain, dan merasa cocok, kita seringkali terhanyut dalam tips-tips itu. Pesan gue, tetaplah jadi diri lo sendiri. Setiap penulis punya ciri khas yang akan jadi penting ketika terkenal.

Mengirim naskah ke penerbit, bukan berarti perjuangan lo selesai. Ingat, ini baru langkah pertama menjadi penulis terkenal. Langkah kedua yang harus lo ambil adalah mengulang kembali siklus ini dari awal. Tentukan apa yang mau lo tulis, lakukan penelitian untuk dasar tulisan, dan tulislah. Selesaikan, lalu kirim ke penerbit. Nggak ada penulis yang langsung terkenal karena buku pertamanya. But, then again, setau gue, juga nggak ada penulis yang menulis karena pengen terkenal. We, writers, write because we love to. Being famous is a side effect.

Now, that’s it. Like I wrote up above, this is the last episode of this writing series. Tapi, meskipun serial writing ini berakhir di sini, jangan ragu untuk nanya-nanya lebih jauh, ya? You can always write me an email. Send it to marsczha@yahoo.com. Tulislah yang panjang dan menarik! Hitung-hitung latihan! I’ll be glad to reply.


Happy writing!

Selasa, 23 Februari 2010

Cuaca, brownies, & writing series

Hi,there..

Kemarin, di Pamulang, cuacanya sedikit aneh. Petir-petir galak memaki gue sejak tengah hari. Langit biru cerah berawan tipis menerawang tiba-tiba berubah warna jadi abu-abu monyet. Gue langsung narik curtain sampai kamar gue gelap, dan pindah ke kamar adek gue. Tapi, begitu sore, tiba-tiba matahari jadi galak dan petir pun nglakep. Rencana beli kertas roti pun terombang-ambing.

Menjelang maghrib, akhirnya matahari mulai tenang. Gue pun tersenyum-senyum senang membayangkan brownies yang atasnya pecah-pecah. My favorite! Sedih banget, brownies kayak gini susah banget dicari di pasaran. Yang gue buat kemaren resep asli pennylane brownies Mbak Riana Ambarsari.

Brownies gue kayaknya dipanggang dengan api yang terlalu besar. Pecahan di atasnya cuma sedikit. Bikin gemes! Rasanya? Uenaaak buangeeet! Gue aja, kayaknya, udah ngabisin setengah loyang sendirian.

Gue lagi siapin writing series berikutnya: The First Step to be a (famous) Writer. Harus nungguin laptop yang lagi dipakai adek gue.

Be waiting!

Senin, 22 Februari 2010

Passion yang tersisihkan

Enam bulan pengangguran membuat tangan gue gatel-gatel. Bukan. Bukan digigit nyamuk. Dan, jelas juga bukan panu. Gue nggak jorok, kali. Gue mandi sehari tiga kali, minimal. Tangan gue gatel karena udah lama sekali gue meninggalkan hobi 'membuat'.

Sebetulnya hobi gue banyak. Gue suka baca buku. Buku apa aja gue baca, kecuali Come Come Paradise. Gue juga suka masak, melipat kertas, menggunting dan menempel, merobek halaman majalah, dan lain-lain. Untuk singkatnya, sebagian besar hobi gue dapat dirangkum menjadi membuat. membuat masakan, membuat origami, membuat kliping, membuat baju. Gue pengen belajar membuat anak juga. Tapi, yang ini harus menunggu. Alat dan bahan yang dibutuhkan masih harus dicari.

Singkat cerita, semenjak tuntutan menyelesaikan skripsi menyita perhatian dan waktu gue, banyak hal yang akhirnya harus tersisihkan. Ditambah lagi, pada waktu yang bersamaan, banyak hal yang terjadi. Hal-hal yang menguras kemampuan intelektual dan emosional gue. Akhirnya, hobi membuat pun terpaksa harus gue simpen dulu.

Gue ingat, gue jadiin satu semua kotak-kotak perkakas gue (berisi gunting, lem, kertas lipat, perforator, benang berbagai warna, jarum berbagai ukuran, dll) dan gue simpan di lemari yang paling jarang dibuka di kamar gue. Ditumpuk-tumpuk sama kacamata-kacamata yang udah nggak gue pake, kamera SLR rusak (padahal beli di Jepang), dan koleksi kotak-kotak kemasan makanan gue. Buku-buku folio berisi sobekan majalah pun gue simpan di dalam kardus, barengan sama koleksi lengkap Harry Potter, berbagai novel Harlequin, chicklit komplit, dan buku-buku teks waktu kuliah yang isinya nggak nyambung sama skripsi gue. Satu-satunya hiburan gue hanya laptop, yang langsung masuk rumah sakit begitu gue dinyatakan lulus sebagai sarjana. Kasihan kau, laptop!

Semenjak jadi pengangguran yang sibuk (dengan urusan domestik), gue jadi punya banyak sekali waktu luang. Tentunya sebagian buat menulis, tidur siang, dan nonton dorama Korea serta Spongebob dan Naruto. Tapi, di waktu luang yang nggak gue pake untuk menulis, tidur siang, maupun nonton, gue jadi banyak melamun. Memang, melamun adalah pekerjaan seorang penulis fiksi.

Fortunately, ketika melamun, gue butuh ruang yang lebar dan bersih. Dan, akhirnya membuat gue menyadari bahwa kamar gue berantakan. Dalam usaha merapikan kamar, gue menyadari betapa meja gue berantakan. Ketika berusaha meletakkan segala hal pada tempatnya, gue menyadari betapa isi kepala gue berantakan. Kertas-kertas di meja gue kebanyakan bekas draft skripsi yang sayang kalo dibuang. Jumlahnya mungkin satu rim lebih beberapa puluh lembar. Di belakangnya, bagian yang kosong tak terpakai dipenuhi tulisan tangan gue yang miring ke-sana-kemari. Tulisannya antara lain "tokoh utama perempuan teman sekelas tokoh utama laki-laki" dan yang mirip-mirip dengan itu. Ide-ide mentah juga banyak sekali di draft di SE Z610i gue dan di buku kecil yang selalu gue bawa ke mana-mana. Akhirnya, gue memutuskan, gue butuh sebuah buku khusus untuk menyimpan ide mentah cerita gue. Terus, gue memutuskan untuk sekalian bikin buku resep dan agenda 2010. Mumpung, 2010 belum terlalu larut.

Nah! Ketika gue lagi browsing gambar-gambar buat ditaro di sampul buku-buku itu, gue nyasar ke web-web favorit gue dulu. Cut out and keep, craftster, dan beberapa lagi yang gue lupa namanya dan file-nya masih ada di laptop yang sedang koma. Singkat cerita, passion yang tersisihkan itu sekarang membuat gue semakin insomnia. Sakit punggung juga semakin parah karena sering membungkuk kalau menjahit. Luka bakar juga semakin banyak karena sering kecipratan minyak kalau masak, dan kenyunyuk loyang panas waktu ngeluarin dari oven. *menghela napas* Menekuni hobi itu memang sangat menyenangkan, teman!

Minggu, 21 Februari 2010

Perubahan

Entah apa ada orang yang membaca blog gue. I keep posting because I love it. Tapi, kalau memang ada, berarti dia (atau kalian, mudah-mudahan) memperhatikan gue sudah ganti blogskin sampai beberapa kali bulan ini. Gue memang sedang mencari blogskin yang mencerminkan gue. Tapi, belum ada yang oke banget. Jadi, bersabarlah dengan perubahan ini, ya?

Thank you: there can't be too much of it

Gue baru saja menerima rekapitulasi penjualan 6 bulanan TDLC yang kedua. Nggak terasa TDLC udah memasuki tahun kedua peredarannya di dunia. *giggle* Hasil penjualannya memang agak merosot.  But, I’m happy anyway. Mungkin rasanya sama kayak ngeliat anak sendiri udah bisa jalan tanpa dituntun. *more giggles* Gue belum pernah punya anak. But, you know what I mean.

Ada empat digit angka di akhir kolom yang berjudul “Terjual (eks)”. Wow! Ketika gue melihat angka-angka itu, gue terpesona. Ada segitu banyak orang yang membaca hasil tulisan gue. Dan, mereka bukan membaca tulisan itu karena mereka harus (like what they do to thesises) tapi karena mereka berpikir cerita itu menarik. Itu, kan, yang terlintas di kepala lo ketika lo mengambil sebuah buku dan memutuskan—entah beli atau pinjam—untuk membacanya?

So, I sign in to post this blog. Gue memutuskan bahwa mereka yang telah memutuskan untuk membaca TDLC (entah beli atau pinjam) layak menerima ucapan terima kasih gue. Dengan cara membaca, mereka memberikan pengakuan terhadap hasil kerja gue. Mengetahui bahwa sesuatu yang gue kerjakan simply for passion bisa menjadi sesuatu yang berguna bagi orang lain (entah itu menyadarkan akan sesuatu, memberi insight dalam membuat keputusan, atau hal sederhana seperti mengisi waktu luang) bisa menimbulkan perasaan yang menyenangkan. Feels like orgasm, just last longer!

For that reason, big thanks to: Nina, Ninda, Shabrina, Tika, Monica, Aletheea Elizabeth, Tiara Gerard Atkinson, KristyAnggi, juga mereka yang gue nggak tahu namanya, seperti yang ini, ini, ini, ini, dan ini.

Sabtu, 20 Februari 2010

Happy Life!

Hari ini, sepupu gue~yg juga seorang penulis~lg nujuh bulanan.
Dia adalah salah satu dari 2 sepupu terdekat gue. Meskipun gue lebih deket sama adeknya, gue~bisa dibilang~ngefans sama dia.
Singkat cerita, dari pengalaman hidupnya, gue belajar bahwa Tuhan selalu punya rencana yang lebih indah daripada rencana kita. Rumit, mungkin. Tapi pasti lebih baik.

To my lovely cousin, Mba Pu..
I wish you a happy life from now on.

Jumat, 19 Februari 2010

Unfortunately in love with living-unemployed

Sudah lebih dari setengah tahun gue jadi sarjana, tapi belum juga punya pekerjaan. *menghela napas* Bukannya nggak mencoba, tapi gue selalu gagal di tahap wawancara. My mom (yang selalu mengaitkan segalanya dengan jumlah lemak di badan gue) said that gue pasti berhasil kalau kurus. Sementara gue berpikir bahwa... Mm... *angkat bahu* Sebenarnya, gue bingung kenapa gue selalu gagal di tahap wawancara.

Singkat cerita, sampai sekarang gue masih pengangguran. Tentu saja, gue masih menulis cerita-cerita fiksi. Tapi, pengalaman (pribadi dan orang lain)membuktikan bahwa proses dari ide sampai jadi buku bisa makan waktu setahun. Dan, hanya benar-benar menghasilkan uang selama setahun juga. In the real world--terutama di negara kita yang belum bisa memberikan penghargaan maksimal kepada dunia cerita--kenyataannya menulis nggak bisa dikategorikan sebagai pekerjaan. Nggak mungkin ada orang yang sanggup hidup HANYA dengan menulis. You should do something else too.

Menjadi pengangguran ditambah dengan pulangnya asisten rumah tangga (yang selanjutnya akan disingkat menjadi a.r.t) gue untuk selamanya ke rumah orangtuanya yang dibangun di atas gunung (beneran! gue udah pernah ke sana) membuat gue punya kewajiban tak tertulis untuk menggantikan tugasnya. Sebenarnya, mungkin lebih tepat kalau dibilang gue mengambil alih kembali tugas-tugas nyokap yang selama ini dikerjakan oleh a.r.t itu.

You know, selama beberapa tahun terakhir, gue mengurus diri sendiri: nyuci baju, setrika, masak, dll, untuk diri sendiri. Termasuk nyapu dan ngepel kamar sendiri. Jadi, ketika gue harus nyuci baju semua orang yang tinggal serumah sama gue, dan masak buat adek2 gue, gue bisa melakukan semua itu dengan baik. No problemo. Bahkan, gue menikmatinya.
Gue suka dengan perasaan dibutuhkan yang muncul ketika adek gue dengan nada bossy bilang dia pengen bawa bekal besok pagi. FYI, itu berarti gue harus begadang supaya nggak kesiangan bangun, dan baru beranjak tidur setelah adek gue pake seragam lengkap, siap berangkat ke sekolah.
Gue juga suka berbalas melotot sama adek gue ketika dia marah-marah nyariin celananya yang mau dia pake. "Tadi pagi ada di sini!" katanya sambil nunjuk tiang jemuran. Sementara gue dengan suara sama keras membalas "Well, it's not there anymore!"
Hehehe..
Lama-lama gue jadi makin malas nyari kerjaan kantoran. Bangun pagi, duduk seharian, dan pake baju bagus yang bikin gatel. Belum lagi, sosialisasi dengan obrolan yang isinya gosip melulu. Nggak tau, deh, gimana gue bisa survive di sana.
Anyhow, I'll be there eventually. Tapi, sekarang, gue masih mau menikmati dulu kehidupan pengangguran gue yang super-busy.