Rabu, 26 Agustus 2009

Writing 101: How To Be A Writer

Hi there!

Sejak TDLC diterbitkan, banyak teman lama yang mengirimi gue email dan ngajakin chat kalo gue lagi online. Bahkan, ada yang SMS. Heran juga! Ternyata banyak yang tahu nomer HP gue. Hehehe... Email, chat, dan SMS yang berdatangan, tentunya, mengucapkan selamat. Banyak juga yang minta dikirimin gratisan. Tapi, yang menarik, ada beberapa yang malah curhat.

Gue sampai sempat menyesal. Gue kurang peka terhadap keinginan dan cita-cita teman-teman gue. Baru sekarang, setelah bertahun-tahun temenan, gue tahu ada beberapa temen yang pengen jadi penulis juga. Email, chat, dan SMS dari mereka, selain ucapan selamat, juga berisi pertanyaan-pertanyaan soal jadi penulis. Mengulang-ulang hal yang sama, akhirnya, membuat gue memutuskan untuk menulis blog ini.

Writing 101: How To Be A Writer

Gimana sih caranya jadi penulis?

Begitulah pertanyaan yang paling sering ditanyakan kepada gue. Gue menjawab dengan jujur: Ya, menulis. Yang gue heran, mereka semua tertawa.

Kalau mau jadi penulis, ya harus menulis, kan?

Menurut gue, salah satu faktor penting yang membantu gue sampai bisa jadi penulis adalah tugas-tugas mengarang semasa SD dan SMP. Dulu, guru-guru bahasa selalu ngasih tugas mengarang setiap habis liburan. “Buatlah karangan tentang liburan kalian kemarin!” katanya. Gue benci banget tugas itu. Soalnya, ortu gue jarang ngajakin jalan-jalan. Kalau liburan, paling gue nginep di rumah kakek-nenek gue: bangun siang dan main seharian. Sama sekali bukan liburan yang menarik untuk dijadikan bahan tulisan. Karena gue orangnya nggak mau kalah, gue merasa tertantang untuk membuat bahan yang nggak menarik itu, setidaknya jadi tulisan yang enak dibaca. Di situlah, gue mulai belajar.

Waktu SD, gue juga menulis buku harian setiap hari. Isinya jangan ditanya. Hampir setiap lembarnya berisi kalimat-kalimat norak seperti “Hari ini, dia duduk di sebelahku” atau “Udah 2 hari dia nggak masuk sekolah. Kenapa, ya?” Bikin merinding. Tapi, gue heran melihat gaya tulisan gue di waktu SD sudah jauh lebih baik daripada gaya tulisan adik bungsu gue.

Adik bungsu gue sekarang kelas 2 SMP, tapi tata bahasanya berantakan. Dia belum bisa meletakkan titik dan koma dengan benar. Dia juga belum bisa membedakan mana yang awalan dan mana yang kata sambung. Usut punya usut, adik gue nggak pernah dapet tugas mengarang dari sekolah. Betapa memprihatinkan pendidikan pada masa ini, ya?

Well, practice makes perfect.

Cara lain yang juga penting untuk melatih kemampuan menulis adalah banyak-banyak membaca. Gue sendiri memang hobi banget membaca. Komik, novel, buku-buku psikologi, bahkan kamus dan ensiklopedia pun gue baca. Gue jarang baca koran karena halamannya lebar dan susah dipegang.

Membaca itu penting karena bisa menambah pengetahuan. Menurut gue, pengetahuan itu penting untuk jadi penulis. Misalnya, lo mau menulis fiksi romantis tentang seorang pemain basket. Ya, lo harus tahu hal-hal mendasar tentang basket. Jumlah pemainnya, ukuran lapangannya, peraturan-peraturan dasarnya. Kalau gue baca novel-novel lain, hal-hal sepele kayak gini biasanya jarang ditulis, terutama kalau si penulis pakai first person point of view. Tapi, gue prefer limited third person point of view dan hal-hal kecil kayak gini bisa membantu banyak untuk membangun suasana. Trust me!

Selain menambah pengetahuan sepele, apa yang lo baca juga bisa jadi contoh yang bagus untuk menulis. Gaya bahasa, misalnya. Saran gue, sih, bacalah buku yang buanyaaaak! Bukan dari penulis favorit lo aja, tapi juga penulis-penulis yang namanya sama sekali nggak lo kenal. Lo akan kaget menemukan begitu banyak hal yang bisa lo pelajari dari buku-buku yang ditulis orang lain.

So many things to say, so little time... Tunggu Writing 101 berikutnya, ya?

Kamis, 20 Agustus 2009

been lazy...

wah, udah lama blogging...

tapi hari ini nggak sempat...

besok, deh, ya?