Jumat, 19 Februari 2010

Unfortunately in love with living-unemployed

Sudah lebih dari setengah tahun gue jadi sarjana, tapi belum juga punya pekerjaan. *menghela napas* Bukannya nggak mencoba, tapi gue selalu gagal di tahap wawancara. My mom (yang selalu mengaitkan segalanya dengan jumlah lemak di badan gue) said that gue pasti berhasil kalau kurus. Sementara gue berpikir bahwa... Mm... *angkat bahu* Sebenarnya, gue bingung kenapa gue selalu gagal di tahap wawancara.

Singkat cerita, sampai sekarang gue masih pengangguran. Tentu saja, gue masih menulis cerita-cerita fiksi. Tapi, pengalaman (pribadi dan orang lain)membuktikan bahwa proses dari ide sampai jadi buku bisa makan waktu setahun. Dan, hanya benar-benar menghasilkan uang selama setahun juga. In the real world--terutama di negara kita yang belum bisa memberikan penghargaan maksimal kepada dunia cerita--kenyataannya menulis nggak bisa dikategorikan sebagai pekerjaan. Nggak mungkin ada orang yang sanggup hidup HANYA dengan menulis. You should do something else too.

Menjadi pengangguran ditambah dengan pulangnya asisten rumah tangga (yang selanjutnya akan disingkat menjadi a.r.t) gue untuk selamanya ke rumah orangtuanya yang dibangun di atas gunung (beneran! gue udah pernah ke sana) membuat gue punya kewajiban tak tertulis untuk menggantikan tugasnya. Sebenarnya, mungkin lebih tepat kalau dibilang gue mengambil alih kembali tugas-tugas nyokap yang selama ini dikerjakan oleh a.r.t itu.

You know, selama beberapa tahun terakhir, gue mengurus diri sendiri: nyuci baju, setrika, masak, dll, untuk diri sendiri. Termasuk nyapu dan ngepel kamar sendiri. Jadi, ketika gue harus nyuci baju semua orang yang tinggal serumah sama gue, dan masak buat adek2 gue, gue bisa melakukan semua itu dengan baik. No problemo. Bahkan, gue menikmatinya.
Gue suka dengan perasaan dibutuhkan yang muncul ketika adek gue dengan nada bossy bilang dia pengen bawa bekal besok pagi. FYI, itu berarti gue harus begadang supaya nggak kesiangan bangun, dan baru beranjak tidur setelah adek gue pake seragam lengkap, siap berangkat ke sekolah.
Gue juga suka berbalas melotot sama adek gue ketika dia marah-marah nyariin celananya yang mau dia pake. "Tadi pagi ada di sini!" katanya sambil nunjuk tiang jemuran. Sementara gue dengan suara sama keras membalas "Well, it's not there anymore!"
Hehehe..
Lama-lama gue jadi makin malas nyari kerjaan kantoran. Bangun pagi, duduk seharian, dan pake baju bagus yang bikin gatel. Belum lagi, sosialisasi dengan obrolan yang isinya gosip melulu. Nggak tau, deh, gimana gue bisa survive di sana.
Anyhow, I'll be there eventually. Tapi, sekarang, gue masih mau menikmati dulu kehidupan pengangguran gue yang super-busy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar