Rabu, 03 Maret 2010

Chaotic Parliament: Two Ears

Post ini sengaja gue pisah dari yang lalu. Meskipun isinya masih nyambung, tapi topik penting yang mau gue bahas beda.
Lebih khusus ke sidang paripurna kemarin, gue harus jujur mengakui bahwa gue geli mendengar keributan kemarin dipicu microphone yang mati. Silly! I still hope that that’s not true.
Kejadian ini mengingatkan gue akan tes masuk universitas tahun 2002 lalu. Waktu itu, gue dan beberapa orang lain (all girls) dikumpulkan dalam satu ruangan untuk diwawancara bareng-bareng. Kami dikasih kasus yang sama dan diminta menjelaskan bagaimana kami menyelesaikan kasus itu. Cewek-cewek itu langsung menjawab dengan “Kalo saya, …” dan “Saya, sih, …” yang saling bersahutan sementara gue diam dan mendengarkan. In the end, ketiga orang pewawancara—yang belakangan gue ketahui adalah dua orang dosen dan dekan menjabat saat itu—akhirnya beralih ke gue. “Kamu belum ngomong apa-apa,” kata salah satu dosen. “Menurut kamu, gimana?” Kelak di kemudian hari, dosen ini menjadi PA (pembimbing akademik) gue. Di suatu hari konsultasi, kami ngobrol berdua. Dia bilang bahwa gue seharusnya lebih aktif dan partisipatif. Mungkin, gue bisa coba ikut organisasi supaya gue jangan cuma diem aja dalam sebuah diskusi seperti yang terjadi di hari interview itu. I was laughing. Not out loud, but loud enough to make her ask. I told her that it’s a habit. Yeah, it is!
Sejak TK, gue sekolah di sebuah sekolah katolik yang dipilih nyokap gue karena itu adalah yang terdekat dari rumah. Untuk alasan yang sama, gue menetap sampai SMP dan, menjadi terlalu terikat sama teman-teman sehingga mengubur impian sekolah di SMA 8, gue pun masuk SMA itu juga. Sepanjang tahun-tahun itulah, gue belajar untuk ‘mendengarkan saat orang lain bicara’ dan ‘bicara pada waktunya untuk bicara’. Waktu SD, guru-guru gue sangat gemar mengingatkan hal ini sampai, akhirnya, itu menjadi kebiasaan yang tertanam. So, kalau gue terlihat pendiam, itu bukan karena gue nggak aktif dan partisipatif. Tapi, karena gue menghargai hak-hak orang lain untuk bicara.
Gue pikir microphone itu nggak akan perlu ‘sengaja’ dimatiin, kalau para wakil rakyat yang duduk di kursi jutaan rupiah itu mau menahan diri untuk nggak terus-terusan “interupsi!” dan sabar menunggu sampai tiba waktu mereka untuk bicara, dan, selagi itu, duduk mendengarkan apa yang sedang disampaikan orang lain. Lama? Of course! Kan, ada banyak orang yang semuanya mau mengungkapkan pendapat dan mereka mewakili ratusan juta rakyat Indonesia. Kami sudah cukup sabar menghadapi kehidupan yang semakin berat karena keputusan-keputusan yang kalian ambil. Why can’t you?
Gue rasa jadi wakil rakyat memang harus berhadapan dengan isu ‘so many things to do, so little time.’ ‘Mau mendengarkan’ dan ‘berjuang untuk didengarkan’ adalah resiko yang diambil seseorang ketika memutuskan akan duduk di gedung yang bentuknya aneh itu. Tapi, seharusnya dilakukan dalam urutan itu. ‘Mendengarkan’ dulu, baru ‘didengarkan’. Isn’t that’s why He gave us two ears?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar