Kamis, 04 Maret 2010

Writing Extra: ‘Sesuap Nasi’

Hello.

Sudah beli ‘Be A Writer, Be A Celebrity’-nya Andrei Aksana? Belum? Nggak pa-pa. Yang lebih penting dari itu adalah keep writing!  Pengalaman menjadi guru terbaik gue dalam mengajarkan bahwa semakin lama rehat yang kita ambil dari menulis, maka semakin lama dan semakin parah pula writer’s block yang kita alami. So, keep writing! Nggak penting apakah lo menulis sesuatu yang penting atau enggak, yang penting jangan berhenti menulis.

Post gue kali ini akan membahas sisi yang biasanya dihindari orang, yaitu keuangan.

Seorang sahabat gue—yang baru-baru ini gue ketahui bermimpi jadi penulis juga—pernah bertanya soal ini. Katanya, orangtuanya nggak mau dia melakukan pekerjaan yang nggak bisa bikin dapur tetep ngebul. Jadi, dia berusaha untuk mencari tau dulu, seberapa banyak sih yang bisa dihasilkan seseorang dengan mengabdikan diri menjadi penulis.

Mm… Nggak banyak, terutama di Indonesia, penulis yang adalah full-time author. Setau gue, sebagian besar justru adalah pecinta menulis yang menulis ketika tidak bekerja. Yang full-time author, biasanya juga adalah full-time housewife. Kalau kasusnya begitu, jelas dia tetep bisa bikin dapur ngebul selagi mengabdikan hidup pada kecintaan terhadap menulis.

Yang jelas, penulis novel mendapat royalti sebesar 10% dari harga penjualan buku, dipotong pajak. Pajaknya 15% dari berapa pun yang dia peroleh. Waktu pembayaran bisa berbeda antara penerbit yang satu dengan penerbit yang lain. Ada yang setiap bulan, ada yang per enam bulan. Contoh: Gagas Media membayarkan royalti gue setiap enam bulan sekali. Karena TDLC terbit di Januari 2009, maka perhitungannya dimulai dari bulan itu. Misalnya Januari terjual 10 buku, Februari 2, Maret 4, April 9, Mei 19, dan Juni 6 buku, total 40 buku terjual di periode itu. Harga TDLC adalah 25.000, jadi total penjualannya 40 x 25.000 = 1.000.000. Setelah dikurangi 15% (dikali satu juta), maka yang gue terima adalah 850.000 yang dibayarkan di bulan berikutnya. Lagi-lagi, setiap penerbit beda. Tapi, biasanya ada uang muka yang dibayarkan sebelum buku beredar. Not much?

Buku yang ditulis seorang pemula, biasanya dicetak 3.000 – 5.000 eksemplar untuk pertama kalinya, tergantung penerbitnya. Cetakan pertama TDLC 7.500 eks. Tapi, jumlah ini bisa bertambah kalau buku lo jadi best-seller. For example,  Babi Ngesot’-nya Raditya Dika dicetak 20.000 eks dan langsung dicetak ulang dengan jumlah yang sama di bulan berikutnya. Untuk penjualan sampai 20.000 eks, penulis dapat bonus royalty 1%, so, you do the math! Much? Coba bayangkan berapa penghasilan Andrea Hirata dari Laskar Pelangi!

Walaupun novel lo nggak best-seller, kalau ada produser yang naksir untuk mem-film-kan, that’s more money. Konon, penulis skenario film layar lebar bisa gajian sampai puluhan juta. Banyak, kan?

So, yes, you can make a living being a full-time author. Asalkan lo tetap menulis. Berhenti menulis-lah yang jadi masalah. Jadi, berhentilah membayangkan berapa banyak uang yang bisa lo dapat dan mulai menulis lagi.

Some more writing extras will come. As soon as I can come up with an idea. Keep writing!

Rabu, 03 Maret 2010

Chaotic Parliament: Two Ears

Post ini sengaja gue pisah dari yang lalu. Meskipun isinya masih nyambung, tapi topik penting yang mau gue bahas beda.
Lebih khusus ke sidang paripurna kemarin, gue harus jujur mengakui bahwa gue geli mendengar keributan kemarin dipicu microphone yang mati. Silly! I still hope that that’s not true.
Kejadian ini mengingatkan gue akan tes masuk universitas tahun 2002 lalu. Waktu itu, gue dan beberapa orang lain (all girls) dikumpulkan dalam satu ruangan untuk diwawancara bareng-bareng. Kami dikasih kasus yang sama dan diminta menjelaskan bagaimana kami menyelesaikan kasus itu. Cewek-cewek itu langsung menjawab dengan “Kalo saya, …” dan “Saya, sih, …” yang saling bersahutan sementara gue diam dan mendengarkan. In the end, ketiga orang pewawancara—yang belakangan gue ketahui adalah dua orang dosen dan dekan menjabat saat itu—akhirnya beralih ke gue. “Kamu belum ngomong apa-apa,” kata salah satu dosen. “Menurut kamu, gimana?” Kelak di kemudian hari, dosen ini menjadi PA (pembimbing akademik) gue. Di suatu hari konsultasi, kami ngobrol berdua. Dia bilang bahwa gue seharusnya lebih aktif dan partisipatif. Mungkin, gue bisa coba ikut organisasi supaya gue jangan cuma diem aja dalam sebuah diskusi seperti yang terjadi di hari interview itu. I was laughing. Not out loud, but loud enough to make her ask. I told her that it’s a habit. Yeah, it is!
Sejak TK, gue sekolah di sebuah sekolah katolik yang dipilih nyokap gue karena itu adalah yang terdekat dari rumah. Untuk alasan yang sama, gue menetap sampai SMP dan, menjadi terlalu terikat sama teman-teman sehingga mengubur impian sekolah di SMA 8, gue pun masuk SMA itu juga. Sepanjang tahun-tahun itulah, gue belajar untuk ‘mendengarkan saat orang lain bicara’ dan ‘bicara pada waktunya untuk bicara’. Waktu SD, guru-guru gue sangat gemar mengingatkan hal ini sampai, akhirnya, itu menjadi kebiasaan yang tertanam. So, kalau gue terlihat pendiam, itu bukan karena gue nggak aktif dan partisipatif. Tapi, karena gue menghargai hak-hak orang lain untuk bicara.
Gue pikir microphone itu nggak akan perlu ‘sengaja’ dimatiin, kalau para wakil rakyat yang duduk di kursi jutaan rupiah itu mau menahan diri untuk nggak terus-terusan “interupsi!” dan sabar menunggu sampai tiba waktu mereka untuk bicara, dan, selagi itu, duduk mendengarkan apa yang sedang disampaikan orang lain. Lama? Of course! Kan, ada banyak orang yang semuanya mau mengungkapkan pendapat dan mereka mewakili ratusan juta rakyat Indonesia. Kami sudah cukup sabar menghadapi kehidupan yang semakin berat karena keputusan-keputusan yang kalian ambil. Why can’t you?
Gue rasa jadi wakil rakyat memang harus berhadapan dengan isu ‘so many things to do, so little time.’ ‘Mau mendengarkan’ dan ‘berjuang untuk didengarkan’ adalah resiko yang diambil seseorang ketika memutuskan akan duduk di gedung yang bentuknya aneh itu. Tapi, seharusnya dilakukan dalam urutan itu. ‘Mendengarkan’ dulu, baru ‘didengarkan’. Isn’t that’s why He gave us two ears?

Chaotic Parliament: Empty Empathy

Kisah ricuhnya sidang paripurna DPR, 2 Maret 2010 kemarin, jadi perbincangan yang cukup seru di berbagai tempat. Kantor—gue yakin, di beberapa keluarga—mungkin, dan yang pasti di berbagai situs sosial, kayak facebook dan twitter. Gue, sebenernya, bukan tipe yang peduli dengan hal-hal itu. Bukannya apatis, gue cuma nggak mau sok tau tentang politik dan teman-temannya. Sejauh ini, gue belum merasa tertarik untuk mendalaminya.
Tapi, berita chaos-nya sidang itu membuat gue teringat akan berita beberapa hari sebelumnya. Tumben, gue nonton berita. Tapi, bukan itu yang mau kita bahas. Beberapa hari lalu, gue lupa kapan dan di mana, ada berita tentang tawuran pelajar yang dipicu saling ejek. Sore itu, gue berpikir, “Ya ampun! Cuma diledek aja, langsung jadi tawuran.” I’m not into fighting, apalagi untuk alasan yang sepele.
Tapi, mendengar ribut-ribut di sidang paripurna, gue jadi berpikir ulang. Wajar, kalau pelajar-pelajar jadi tawuran hanya karena saling ejek. Mereka dapat contoh yang luar biasa ‘bagus’ dari wakil-wakil rakyat yang kehidupannya kita biayai itu. Bukan sidang ini aja. Meskipun gue nggak ngikutin semua dari a sampai z, gue mendengar beberapa kali keributan yang juga dipicu saling ejek di sidang-sidang lain, kayak sidang pansus beberapa waktu lalu. Gue jadi berpikir, kalau gue adalah pelajar dan suatu hari gue ditangkep polisi karena tawuran, terus polisi yang interogasi gue nanya “Kecil-kecil udah berantem. Nanti, kalo udah gede, mau jadi apa?!” gue akan jawab “Jadi wakil rakyat.”
Lagi-lagi, gue nggak mau sok tau. Tapi, di sudut ingatan gue, ada omongan seorang dosen soal penelitian tentang agresivitas. Dalam penelitian itu, anak-anak yang disuguhi video perang dan kekerasan lain end up lebih agresif daripada anak-anak yang nonton Spongebob Squarepants dan Dora the Explorer. Penelitian ini mendukung pemahaman gue soal betapa wajarnya pelajar Indonesia yang lebur dalam tawuran gara-gara saling ejek karena sehari-hari mereka disuguhi tayangan politik di mana wakil rakyat saling ejek karena perbedaan pendapat dan end up dalam perkelahian—entah itu mulut maupun fisik.
So, folks… How do we prevent this from happening again in the future? Jawabannya satu: empati. Empati itu beda sama simpati, lho. Please, google to know the difference. Dulu, dalam sebuah tes psikologi yang gue lakukan untuk tugas kuliah, gue mendapati bahwa tingkat empati gue sangat tinggi. Bukan sombong. Malah, gue berpikir, ini merugikan. Apa-apa yang ’terlalu’ itu tidak baik. Empati yang ‘terlalu’ tinggi membuat gue sangat memikirkan orang lain dan jarang sekali bisa menikmati hidup dengan cara gue, yang dalam banyak hal berbeda dengan orang lain. Hidup gue penuh dengan ketidakpuasan. Tapi, gimanapun juga, empati itu penting!
Empati adalah, singkatnya, putting ourself in other’s shoes. Atau, memakai kacamata orang lain. Gee, I’m using another words from Andrei Aksana I heard at the workshop. Empati adalah merasakan apa yang dirasakan orang lain. Is it hard? Of course! At first. Tapi, gue rasa ini udah diajarin ke bangsa kita sejak jaman dahulu kala. Kan, orangtua-orangtua sering bilang “Jangan nyubit kalo nggak mau dicubit!” Itu bisa dibilang salah satu cara mudah ber-empati.
Does it really work?
Ini satu contoh. Tahun 2006 lalu, gue jadi fasilitator di salah satu program Yayasan Putra Bangsa. I served for five batches and dealt with many kinds of kids. Di batch terakhir, gue menjadi fasilitator dari sebuah kelompok di mana salah satu muridnya adalah anak paling buandel di batch tersebut. Masih kelas 5 SD, tapi anak-anak lain yang lebih tua pun nggak mau berurusan sama dia. Sejak pembagian kelompok, dia udah memanggil gue dengan berbagai sebutan, mulai dari “gendut”, “babi”, dan yang lainnya. Malah, dia pernah nanya secara frontal “Kak, kok, kakak gendut kayak sapi, sih?” Yeah! Mau marah, memang! Waktu dia tanya begitu, anak-anak lain memandangi gue dengan tatapan takut. I figured they’re afraid that I’m going to be mad and punished them. Tentunya, gue diijinkan untuk menghukum kalau memang diperlukan. Tapi, gue nggak merasa hal itu perlu dilakukan. Gue malah kasihan.
Di akhir batch, kami—para fasilitator—punya kebiasaan menulis surat pendek untuk setiap anak dalam kelompok masing-masing. Karena setiap kelompok anggotanya bisa sampai 10-11 anak, biasanya kami tidur larut di malam terakhir, tidak hadir di meja makan, dan menghilang beberapa jam sebelum bis menjemput anak-anak itu pulang, hanya demi menyelesaikan surat-surat itu. Surat gue untuk anak itu adalah surat terpanjang yang pernah gue tulis sepanjang seluruh program. Isinya kurang lebih menyatakan bahwa gue senang dia ada di dalam kelompok gue. Dia adalah anak yang aktif berpartisipasi, mau bertanya, dan nggak malu menjadi contoh buat teman-temannya. Tapi, sebagai ‘informal leader’ seharusnya dia bisa memberikan contoh-contoh yang baik dan menahan diri agar tidak melakukan hal-hal yang kurang baik, misalnya memanggil gue “babi”. I told him that I’m not mad. I didn’t. Tapi, gue tanya gimana kalau ada orang lain yang memanggil dia “babi”, atau panggilan lain yang berkonotasi buruk, apakah dia akan marah. Kebiasaan itu betul-betul perlu diubah, terutama karena nggak semua orang akan mampu bersikap seperti gue. Bisa jadi, seseorang yang dia panggil “babi” merasa sakit hati dan marah, terus menyewa preman untuk mukulin dia atau pergi ke dukun untuk nyantet dia—anak itu tinggal di daerah di mana hal-hal seperti ini ‘biasa’—atau, yang lebih parah, mukulin dan nyantet orang-orang yang dia sayang.
When he’s already sitting inside the bus, I gave him the letter through the window. I expected that he’ll call me “babi” again, but he didn’t. He asked me “Apa ini, kakak gendut?” Dengan senyum tersungging, gue menepuk-nepuk kepalanya dan bilang “Baik-baik, ya? Jangan nakal! Kakak pasti kangen sama kamu.” Terus, gue menghampiri teman-teman fasilitator yang lagi ngobrol dekat situ. Haha-hihi kami berhenti ketika seorang fasilitator bilang salah satu ‘anak’ gue nangis. It was him! Gue berbalik dan mendapati anak itu memandangi gue dengan mata dan pipi basah. Salah satu telapak tangannya menempel di kaca jendela, sementara surat yang gue tulis ringsek di genggaman tangannya yang lain.
Semua anak menangis pada saat perpisahan itu. Tapi, selama lima batch, anak itulah yang nangisnya paling kejer. Ketika gue menghampiri dia, dia udah nggak bisa ngomong lagi. Kata-katanya tertelan isakan. Akhirnya, gue bilang “Kakak tau” berulang kali sambil menepuk-nepuk kepalanya. Dia baru melepas tangan gue setelah bisnya jalan. Beberapa kali setelah itu, dia sempat sms gue. Katanya, dia udah jadi anak yang baik, orangtuanya lebih sayang sama dia, dan dia lagi belajar untuk ujian masuk SMP yang bagus dekat rumahnya.
You see? Anak itu nggak ngerti arti kata empati. Tapi, dia mau belajar untuk merasakannya. And it really worked for him. Willing to try, Bapak-bapak wakil rakyat?

Selasa, 02 Maret 2010

Topik intim yang sering ditabukan

Beberapa hari yang lalu, seseorang yang cukup dekat dengan gue (untuk lebih mudahnya, seterusnya akan gue sebut Miss B) memulai obrolan dengan topik yang intim, yaitu seputar aset-aset fisik seorang perempuan. Miss B bilang dia merasa kalau payudaranya tidak seperti punya teman-temannya. Sedikit banyak, dia jadi minder soal itu. Memang, Miss B udah memasuki akhir masa remajanya, jadi, wajar aja dia mulai mencemaskan area-area pribadi yang menimbulkan pertanyaan "kok, beda, ya?" di kepalanya.

To be honest, gue pun pernah mengalami masa itu. Malah, every once in a while, gue akan berdiri di depan cermin dengan kening berkerut. "Kenapa bagian ini begini?" dan "kenapa bagian itu begitu?" pastinya akan terpikir juga. Gue pun sering bertanya-tanya sendiri, apakah orang lain juga sering bertanya-tanya hal yang sama? Dan, seperti apakah aset-aset perempuan-perempuan lain? Ada nggak yang bentuknya kayak punya gue?

Sama seperti banyak orang lain, di keluarga gue pun, topik-topik begini nggak pernah tercetus. Ada aturan-aturan tak tertulis (maupun terkatakan) yang melarang topik ini. Bikin bingung, pastinya. Tapi, nyokap gue kolot dalam hal ini. Akhirnya, sejak remaja, gue menelan sendiri pertanyaan-pertanyaan seperti ini. Gue hanya bisa berpikir bahwa gue memang nggak sempurna. Gue akan sangat kesulitan mendapatkan pasangan hidup karena payudara kiri gue lebih besar dari yang kanan, dan bentuknya tidak sama dengan punya nyokap. Tapi, ini pemahaman yang salah kaprah.

Di suatu semester semasa kuliah dulu, gue pernah bikin penelitian tentang remaja dan situs porno. Untuk riset (dan memenuhi rasa penasaran, hehehehehe...) gue pun berenang-renang di berbagai situs porno. Did I have fun? Of course! Gue akhirnya mendapat jawaban bahwa memang setiap perempuan punya bentuk payudara (dan vagina, tentunya) yang berbeda. Nggak ada yang persis sama, dan sama sekali nggak ada hubungannya dengan pasangan hidup. Selain itu, gue jadi menyadari bahwa melarang topik-topik yang-ditabukan-dalam-masyarakat untuk dibicarakan dalam keluarga beresiko besar.

Seperti gue, banyak anak lain yang tidak mendapat pengetahuan tentang topik-yang-tabu ini dari keluarganya, akhirnya mencari jawaban-jawaban tersebut di tempat lain. Dalam kasus gue, lewat internet. Lucky me, gue sudah cukup dewasa ketika akhirnya melakukan hal itu. Meskipun sebenarnya gue terlambat mengetahui, tapi keterlambatan membuat gue cukup dewasa untuk bisa memahami topik-yang-tabu itu dengan kacamata ilmu pengetahuan. Gue nggak perlu merasakan efek-efek negatif dari situs-situs porno yang gue buka. Tapi, unlike me, banyak anak lain yang akhirnya malah terjerumus dalam efek-efek negatif itu.

Salah siapa? Salah orangtuanya, tentunya.

Pertama, kalau topik intim, seperti payudara, penis, dan seks nggak ditabukan dalam keluarga, anak akan punya sumber yang pasti sehingga mereka nggak perlu mencari jawaban dari sumber lain. Of course, orangtua bukan Dr. Boyke yang tahu almost everything about sex. Tapi, justru disitulah perannya. Ketika orangtua menjelajahi dunia maya, misalnya, untuk mencari jawaban dari pertanyaan si anak, orangtua berhak (dan wajib) meletakkan batasan-batasan sampai sejauh mana si anak perlu tahu tentang topik yang mereka tanyakan. Tapi, dengan menjadi terbuka terhadap topik-topik intim, orangtua memberikan semacam kode-kode kepada anak bahwa si ayah atau ibu bisa menjadi tempat untuk bertanya yang bisa diandalkan.

Kedua, orangtua kurang menaruh perhatian sampai banyak anak yang berkeliaran dengan bebas di warnet. Gue juga dibesarkan dalam keluarga dimana kedua orangtua bekerja. Gue paham bahwa orangtua nggak mungkin memberikan perhatian 24 jam penuh. Tapi, bagaimanapun anak adalah tanggung jawab orangtua. Orangtua harus bisa memberikan batasan-batasan soal apa yang boleh dan yang nggak boleh dilakukan anak, juga tempat-tempat yang boleh dan nggak boleh dikunjungi.

Well, meskipun udah muter-muter ke mana-mana, sebenernya post ini gue tulis untuk merekomendasikan Intimate Medicine. Meskipun banyak gambar-gambar sensual di dalamnya, situs ini nggak porno. Artikel-artikelnya membahas payudara, vagina, penis, dan seks (dan berbagai hal lain yang berkaitan) dari sudut pandang medis dan sosial. Jadi, situs ini aman. Walapun begitu, gue tidak menyarankan anak-anak yang belum cukup umur untuk membaca situs ini tanpa pengawasan orang dewasa, ya?

Tambahan untuk para orangtua: Ada perbedaan individu untuk kategori cukup umur. Usahakan untuk tidak menilai anak masih terlalu kecil. Meskipun secara usia masih kecil, kalau di dalamnya dia sudah cukup umur, dia akan siap. Secara pribadi, gue berpendapat bahwa saat paling tepat untuk mulai memberikan pendidikan seks pada anak adalah ketika si anak mulai bertanya soal ini. Jadi, kita harus memastikan bahwa kepada orangtua-lah anak pertama kali bertanya soal seks. That way, we know they're ready.

Menulis post ini membuat gue bersyukur gue belum jadi orangtua. Selamat berjuang, orangtua!

Senin, 01 Maret 2010

Writing Tips: Baca! Baca! Baca!

Memang serial writing sudah selesai. Tapi, gue akan tetap menambahkan ilmu di sana-sini lewat writing tips. Mudah-mudahan akan useful.

Hari Sabtu lalu, 27 Februari 2010, gue jadi peserta workshop penulisan di Kompas Gramedia Fair. Ada 3 pembicara yang bagi-bagi ilmu di hari itu: Andrei Aksana, Clara Ng--my local favorite!, dan Sitta Karina. Waktu menunggu Clara Ng muncul, gue deg-degan kayak mau ketemu pacar. Tapi, itu cuma intermezzo. Gue nggak akan cerita panjang lebar soal perasaan gue bertemu muka dengan Clara di sini.

Di workshop itu, gue menemukan bahwa semua pengarang memang punya cara dan gaya sendiri, tapi garis besarnya nggak jauh beda. Banyak ilmu yang mereka bagi di sana, ternyata kurang lebih sama dengan apa yang pernah gue tulis di serial writing. Tapi, memang, tulisan gue di blog ini masih sangat dangkal. Rekomendasi gue: beli buku Be A Writer, Be A Celebrity-nya Andrei Aksana. Buku itu akan jadi aset yang berharga.

Be A Writer, Be A Celebrity yang ada di tangan gue sekarang adalah salah satu isi paket workshop yang gue terima, jadi gue nggak tahu berapa harganya kalau lo beli di toko buku. Meskipun non-fiksi, buku itu nggak berat. Berasa kayak baca majalah. Bukunya kecil, persergi, tipis, dan halamannya penuh warna. Isinya bagus banget: step by step general tutorial yang berguna banget buat siapa pun yang punya niat serius untuk jadi penulis.
Buku lain yang juga perlu dimiliki semua orang yang pengen jadi pengarang adalah kamus. Kamus adalah investasi seorang pengarang, menurut gue. Gue sendiri, sejak kuliah, udah ngidam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang kebetulan gue temukan terbuka di atas sebuah podium di tengah-tengah lantai 3 perpustakaan kampus. Dalam penglihatan gue, kamus itu seperti dikelilingi cahaya dari langit. Persis adegan pembukaan Mr. Bean. Hehehe... Terakhir gue lihat di toko buku, KBBI terbitan terbaru--gue lupa edisi keberapa--harganya lebih dari 300rb. Lumayan banget! Tapi, gue nemu KBBI edisi kedua cetakan tahun 1991 di toko buku bekas langganan. Gue bawa pulang setelah bayar 80rb. Kamus itu jadi harta karun gue sekarang. Gue juga punya kamus bahasa baku. Gue lupa harganya, tapi buku itu gue beli di toko buku besar di mal di samping kampus gue.

Kenapa harus punya kamus?

Buku yang baik adalah buku yang bisa diterima berbagai kalangan. That's why, meskipun menulis teenlit yang ceritanya ringan, gue sarankan, pakailah bahasa yang baku. Ringan, nggak pa-pa. Tapi, baku. Gue berpikir, buku gue mungkin dibeli seseorang yang tinggal di daerah pinggiran di luar pulau Jawa. Kemungkinannya, mereka masih pake bahasa daerah dan nggak begitu paham bahasa Jakarta sekarang ini. Jadi, bahasa baku memudahkan pengarang untuk menyampaikan isi kepalanya ke pembaca yang berasal dari berbagai kalangan.

Intinya, tips gue kali ini adalah, seperti yang gue tulis di serial writing juga, banyaklah membaca. Baca buku Be A Writer, Be A Celebrity-nya Andrei Aksana (Mas Andrei, aku udah promosiin bukumu, ngopi-ngopinya dikau yang bayarin, ya? hehehehe...), dan lakukan saran-sarannya. Banyaklah membaca buku lokal untuk memperkaya perbendaharaan kata lo, dan pakai kamus buat acuannya.

That's it for now. See you soon!