Rabu, 24 Februari 2010

Writing 103: First Step to be a (famous) Writer

The journey of a thousand miles begins with one step, said Lao Tzu.

The first step is the hardest, said Marie De Vichy-Chamrond.


I agree with Lao Tzu. But, I have to say that the first step is not always the hardest. Sorry, Marie… No offense. Here's why.
Membaca posting ini berarti lo sudah membaca episode-episode sebelumnya dari serial writing yang gue tulis. Kalau belum, sebaiknya lo baca dulu sebelum melanjutkan. Klik link di bawah ini!

Writing 101: How to be a Writer

Writing 101: Knowing What to Write

Writing 102: What to Write?

Writing 102: Stay Focus!

Kalau sudah melakukan semuanya yang tertulis di tiga episode dari serial writing yang sebelumnya, berarti lo sudah menjadi penulis. Saatnya untuk melanjutkan ke tahap berikutnya: menjadi penulis yang terkenal. Sebelum kita mulai, perlu gue kasih tau dulu bahwa post ini akan jadi tulisan terakhir gue dalam serial writing.

Untuk menjadi penulis yang terkenal, sebetulnya nggak butuh banyak hal. Yang pertama, tentunya, lo harus sudah punya cerita. Nggak masalah apakah itu sebuah puisi, cerpen, atau novel. Yang penting cerita itu sudah punya bentuk fisik yang bisa dipegang. Kalau bentuknya masih soft copy, cepat cetak! Pengalaman pribadi mengajarkan gue bahwa bentuk fisik sifatnya lebih menuntut, terutama kalau selalu terletak di tempat-tempat yang terlihat mata.

Sudah ada di tangan? Bagus! Berikutnya, putuskan ke mana lo akan memberikan naskah cerita itu. Biasanya, kalau cerpen atau puisi, lebih umum dikirim ke media cetak, misalnya majalah atau tabloid. Tapi, kalau novel, sudah pasti harus dikirim ke penerbit.

Seperti yang pernah gue tulis, sebaiknya naskah cerita dikirim ke penerbit yang buku-buku keluarannya paling lo suka. Nggak suka baca buku? Urungkan saja niat untuk jadi penulis! Don’t ever think about it again! Penulis yang nggak suka baca buku sama aja kayak koki yang nggak suka makan.

Di Indonesia, banyak banget penerbit-penerbit yang cukup punya nama. Lo bisa cari alamat redaksi mereka di Google. Cara yang lebih sederhana adalah lihat di sudut kiri bawah sampul belakang novel favorit lo. Pasti ada.

Jangan lupa: setiap penerbit punya kebijakan sendiri soal naskah yang mereka terima. Biasanya, soal font, jumlah halaman, dan jenis cerita. Hargai kebijakan ini dengan mengikutinya! Jangan kirim naskah fiksi ke redaksi penerbit yang jelas-jelas nggak nerbitin buku fiksi! Kalau punya naskah 70 halaman, jangan dikirim ke penerbit yang punya kebijakan menerima naskah minimal 100 halaman! Cari penerbit lain yang sesuai.

Gue adalah tipe orang yang selalu punya (minimal) plan B. Jadi, ketika gue punya naskah yang siap dikirim, maka gue akan menyiapkan sedikitnya dua label dengan alamat penerbit yang berbeda. But, of course, gue cuma akan mengirimkan satu. Seorang penulis science fiction yang cukup terkenal di negaranya menyarankan untuk langsung mengirimkan naskah kita yang dikembalikan penerbit A ke penerbit B. “Kalau naskah lo dikembalikan, jangan buka amplopnya,” kata penulis itu. “Langsung tempel label alamat penerbit lain dan kirim lagi.”

Tapi, gue tidak menyarankan hal ini untuk dua alasan. Pertama, penerbit yang cukup punya nama biasanya menggunakan amplop yang udah di-personalized dengan nama mereka. Lo nggak mungkin mengirim naskah itu dalam amplop penerbitnya ke penerbit lain. Nggak etis. Kedua, berdasarkan pengalaman, ada penerbit yang menyertakan surat penolakan ketika mengembalikan naskah lo. Mungkin, surat itu isinya hanya penolakan. Mungkin juga disertai hal-hal lain, misalnya alasan penolakan atau, lebih bagus lagi, saran-saran perbaikan. In this second case, lo pasti pengen baca suratnya, kan? Penulis yang baik adalah mereka yang mau menerima saran, meskipun belum tentu melakukannya. Jadi, kalau naskah lo dikembalikan, buka amplopnya, periksa baik-baik isinya, pindahkan ke amplop lain, baru tempel label alamat dan kirim ke penerbit lain. Kalau ditolak lagi, kirim ke penerbit ketiga. Dan, seterusnya. Dan, seterusnya. Meskipun gue kurang setuju dengan saran si penulis sci-fi, gue harus akui bahwa gue banyak belajar dari dia. Beliau punya saran-saran yang lebih luar biasa soal tulis-menulis. Sayangnya, gue nggak bisa link dia di sini. I totally forgot his name. Sorry.

Tapi, ada banyak penulis lain yang punya tips-tips oke untuk menulis. Richard Harland dan writing tips-nya, misalnya. Beliau punya writing tips yang lengkap dan tersusun rapi. Keren banget dan totally helpful! But, I have to remind you, kalau banyak baca tips dari orang lain, dan merasa cocok, kita seringkali terhanyut dalam tips-tips itu. Pesan gue, tetaplah jadi diri lo sendiri. Setiap penulis punya ciri khas yang akan jadi penting ketika terkenal.

Mengirim naskah ke penerbit, bukan berarti perjuangan lo selesai. Ingat, ini baru langkah pertama menjadi penulis terkenal. Langkah kedua yang harus lo ambil adalah mengulang kembali siklus ini dari awal. Tentukan apa yang mau lo tulis, lakukan penelitian untuk dasar tulisan, dan tulislah. Selesaikan, lalu kirim ke penerbit. Nggak ada penulis yang langsung terkenal karena buku pertamanya. But, then again, setau gue, juga nggak ada penulis yang menulis karena pengen terkenal. We, writers, write because we love to. Being famous is a side effect.

Now, that’s it. Like I wrote up above, this is the last episode of this writing series. Tapi, meskipun serial writing ini berakhir di sini, jangan ragu untuk nanya-nanya lebih jauh, ya? You can always write me an email. Send it to marsczha@yahoo.com. Tulislah yang panjang dan menarik! Hitung-hitung latihan! I’ll be glad to reply.


Happy writing!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar