Sabtu, 14 Februari 2009

pujian vs kritik

Terima kasih, ya, buat mereka yang udah beli The Devil Loves Cinnamon. Terima kasih juga buat mereka yang mengharapkan, tapi—maaf—gue udah nggak punya lagi gratisan. *hiks!*
Gue memang norak. Gue googling The Devil Loves Cinnamon every once in a while sejak buku itu diterbitkan. Awalnya, yang nongol cuma toko-toko buku online, website penerbit tercinta GagasMedia dan situs-situs sosial. Tapi, sekarang udah ada yang menulis tentang kisah cinta Widya dan Ananta itu—The Devil Loves Cinnamon memang bukan horor tapi love story—di blogger. Udah ada juga—buanyaaaak—yang komentar langsung ke gue, baik face to face, via SMS, email maupun situs-situs sosial.
Gue seneng komentar-komentar itu semuanya bagus. Ada yang bilang The Devil Loves Cinnamon membuat dia menyadari banyak hal. Ada yang bilang bagus dan inspiring. Ada yang kagum karena gue bisa ngomong blak-blakan soal Tuhan dengan cara yang ringan. Bahkan, ada yang bilang kalo The Devil Loves Cinnamon adalah one of the greatest books she ever read. Pastinya, sih, semua pujian itu, selain tumpah ke gue, harus nyiprat juga ke editor The Devil Loves Cinnamon, Iwied, yang secara nggak sengaja punya nama depan yang sama dengan tokoh utama ceritanya. Hehehe...
Tapi, gue, secara pribadi, malah mengharapkan hinaan. Satu-satunya kritik yang pernah gue terima adalah bahwa The Devil Loves Cinnamon selesai dibaca oleh temen gue, Mega Suananda (I love you!), dalam 1,5 jam aja. Kependekan, katanya. Tapi, kalo ditelusuri balik, jatohnya itu jadi pujian karena tujuan awal gue adalah untuk menciptakan cerita yang ringan tapi bermakna dan tujuan itu tercapai.
Menurut gue, karya pertama menciptakan standar bagi seorang pencipta. Jadi, The Devil Loves Cinnamon adalah standar buat gue, yang artinya karya gue berikutnya harus lebih bagus daripada kisah cinta Widya dan Ananta. Di sinilah peran kritik jadi penting banget buat gue. Kritik memungkinkan gue memperbaiki diri di karya gue berikutnya. Iya, kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar