Rabu, 25 Februari 2009

review TDLC

Ternyata udah banyak yang review The Devil Loves Cinnamon, lho... Yang belom baca, pasti makin penasaran. Baca review-nya aja dulu... Klik link-nya di sini, ya?

Makasih banyak buat mereka yang mau repot-repot menulis tentang TDLC. Yang lainnya masih ditunggu...

Sabtu, 21 Februari 2009

The Hair

Ima Marsczha loves her hair! Kayaknya semua orang yang kenal gue cukup baik tahu hal ini.

Gue memang sayang banget sama rambut gue. Tapi sangatlah sulit membuat gue mau meluangkan waktu untuk nongkrong di salon. Terakhir kali gue menginjakkan kaki di salon, kalo nggak salah akhir tahun lalu. Itu pun untuk jemput nyokap yang emang hobi banget sama salon. Selama beberapa tahun terakhir, gue, bahkan, selalu memotong rambut di tempat favorit gue: kamar tidur. Dan, hasilnya belum pernah mengecewakan.

Terakhir kali membiarkan orang lain megang-megang rambut gue, kalo nggak salah sekitar tahun 2006. Waktu itu, gue memutuskan untuk memberi highlight di rambut hitam gue. Keputusan yang sangat tepat karena memang warna hitam paling oke kalo dihias sentuhan warna shocking pink. Garis-garis pink itu mem-boost up rasa percaya diri gue sampai dua kali lipat. Padahal, tanpa highlight pun, PD gue udah 1,5 kali orang lain pada umumnya.

Baru-baru ini, ketika memuaskan nafsu window shopping dengan jalan-jalan di kaboodle, gue menemukan foto yang sangat menarik. Seorang cewek dengan rambut ungu sepanjang bahu. FYI, gue dilahirkan dengan super straight hair and I hate it. Gue selalu berusaha membuat rambut gue bergelombang, meskipun harus sakit kepala karena kelamaan menanggung cepol ekstra ketat atau tidur nggak nyenyak karena rol-rol rambut bergelantungan. But, she looks cute dengan super straight hair. Cewek itu mengingatkan gue dengan sahabat gue sejak SMP yang suka banget sama warna ungu. Gue pun langsung memotong rambut gue. Puas! Tapi, entah kenapa, setelah dipotong, rambut gue jadi bertekstur dan kering. Akan gue rawat dulu untuk sementara ini. Tapi, cat rambut warna ungu sudah masuk dalam things to do gue.

Sabtu, 14 Februari 2009

Bakmi Legit

Akhir 2008 lalu, untuk keperluan peluncuran The Devil Loves Cinnamon, gue butuh koneksi internet A.S.A.P. Menyebalkannya: baru —lima menit berlalu setelah gue offline dan berleha-leha di kamar ber-AC—lah, pihak penerbit mengabari gue bahwa mereka butuh reply sesegera mungkin dari email yang baru mereka kirim. Yang lebih menyebalkannya: lampu PPP di modem gue nggak mau nyala. Yang semakin menyebalkannya: di Pamulang—meskipun sudah berdiri Pamulang Square dan sedang dibangun satu Square lagi yang gue belom tau namanya—tidak ada satu pun tempat yang memfasilitasi wireless connection, kecuali UnPam. Tapi, kan, nggak mungkin, dong, gue ujug-ujug main ke kampus orang sekedar numpang mengunduh sebuah dokumen.
Mau nggak mau, pergilah gue ke BSD naik angkot sambil menggendong Scarlet dalam chocolate quilted bag gue. BSD sangat bersahabat, tentunya. Meski semua bangku empuk di hot-spot area-nya penuh dengan manusia, satpam baik hati menunjukkan kepada gue tempat lain yang nggak termasuk hot-spot area tapi kecipratan wireless connection. Selesai mengunduh, gue pun bergegas menggendong Scarlet melalui perjalanan yang jauh lebih panjang—karena lagi jam orang pulang kantor—kembali ke Pamulang. Gue harus mencetak dokumen yang udah gue download itu, gue tanda tangan dan gue fax kembali ke kantor penerbit. FYI, printer di rumah gue udah lama rusak. Yah, lo bisa bayangkan, lah, bagaimana perjalanan gue hari itu. Btw, akhirnya, setelah gue mencoba mengirimkan kembali dokumen itu—via fax—ternyata semua orang di kantor penerbit telah berada dalam perjalanan menuju rumah masing-masing. *sigh*
Dua paragraf di atas sebenarnya cuma pengen menggambarkan betapa koneksi tanpa kabel telah mengirim gue ke neraka dengan ketidakhadirannya dalam jangkauan. Tapi, sekarang, gue tidak perlu lagi mengalami hal itu. Ha! Ha! Ha! Ha! Entah orang Pamulang mana yang dengan sangat baik hatinya—dan pandai melihat peluang keuntungan, tentunya—telah membuka sebuah tempat nogkrong baru di Pamulang. Namanya Bakmi Legit.
Gampang banget, deh, jatuh cinta sama tempat ini. Bakmi Legit adanya di pinggir Jl. Pajajaran, deket Lapangan Tenis. Tempatnya sangat eye catching karena dia pasang papan nama besar di depannya.
Bakmi Legit memfasilitasi koneksi internet tanpa kabel yang sangat kuat dan cepat. Tempatnya juga nyaman banget. Ada kolam ikannya, dihuni oleh banyak ikan koi dan dua ekor kura-kura. Ada ayunan kayu yang jadi favorit adek bungsu gue. Ada juga fasilitas BBQ.
Makanannya juga nggak mahal-mahal banget. Gue pernah pesen ice chocolate, ice cappucinno, ice lemon tea, guava fresca (jambu batu + strawberry + lemon + susu + gula tebu), bubur ayam, mie ayam, mie ayam spesial (mie ayam + kuah + jamur + pangsit goreng + pangsit rebus + baso), jus alpukat, sop buntut goreng + nasi, french fries plus groliette (semacam chocolate cake) dan cuma bayar 150rb lebih dikit. Kalo soal rasa, tergantung selera, kali, ya? Menurut gue, ice chocolate, mie ayam dan sop buntutnya enak aja. Ice cappucinno dan groliette-nya mengecewakan. Tapi, guava fresca, frech fries dan fruit punch-nya enaaaaaak banget!
Gue betah banget di sana dan pernah online sampai berjam-jam. Nggak diusir, dong! Kan, pesen makanannya buanyaaaak! Hehehe... Pokoknya, di Pamulang perlu ada lagi tempat-tempat kayak gini. Tingkat kebutuhannya tinggi dan sayang banget kalo nggak terpenuhi. Kalo ada yang mau modalin, gue mau, kok, mengelola tempat kayak gini. Cake bikinan gue, rasanya pasti lebih oke. Hehehe...

pujian vs kritik

Terima kasih, ya, buat mereka yang udah beli The Devil Loves Cinnamon. Terima kasih juga buat mereka yang mengharapkan, tapi—maaf—gue udah nggak punya lagi gratisan. *hiks!*
Gue memang norak. Gue googling The Devil Loves Cinnamon every once in a while sejak buku itu diterbitkan. Awalnya, yang nongol cuma toko-toko buku online, website penerbit tercinta GagasMedia dan situs-situs sosial. Tapi, sekarang udah ada yang menulis tentang kisah cinta Widya dan Ananta itu—The Devil Loves Cinnamon memang bukan horor tapi love story—di blogger. Udah ada juga—buanyaaaak—yang komentar langsung ke gue, baik face to face, via SMS, email maupun situs-situs sosial.
Gue seneng komentar-komentar itu semuanya bagus. Ada yang bilang The Devil Loves Cinnamon membuat dia menyadari banyak hal. Ada yang bilang bagus dan inspiring. Ada yang kagum karena gue bisa ngomong blak-blakan soal Tuhan dengan cara yang ringan. Bahkan, ada yang bilang kalo The Devil Loves Cinnamon adalah one of the greatest books she ever read. Pastinya, sih, semua pujian itu, selain tumpah ke gue, harus nyiprat juga ke editor The Devil Loves Cinnamon, Iwied, yang secara nggak sengaja punya nama depan yang sama dengan tokoh utama ceritanya. Hehehe...
Tapi, gue, secara pribadi, malah mengharapkan hinaan. Satu-satunya kritik yang pernah gue terima adalah bahwa The Devil Loves Cinnamon selesai dibaca oleh temen gue, Mega Suananda (I love you!), dalam 1,5 jam aja. Kependekan, katanya. Tapi, kalo ditelusuri balik, jatohnya itu jadi pujian karena tujuan awal gue adalah untuk menciptakan cerita yang ringan tapi bermakna dan tujuan itu tercapai.
Menurut gue, karya pertama menciptakan standar bagi seorang pencipta. Jadi, The Devil Loves Cinnamon adalah standar buat gue, yang artinya karya gue berikutnya harus lebih bagus daripada kisah cinta Widya dan Ananta. Di sinilah peran kritik jadi penting banget buat gue. Kritik memungkinkan gue memperbaiki diri di karya gue berikutnya. Iya, kan?

Rabu, 11 Februari 2009

kewajiban vs kemampuan

Kayaknya, beberapa minggu terakhir ini, gue gampang banget pegel-pegel. Wajar, sih, kalo dipikir-pikir lagi. Gue harus nenteng-nenteng si Scarlet ke mana-mana demi dapet akses wireless connection yang gratisan. Maklum, internet di rumah lagi dicabut sama telkom. *sigh!*

Perasaan gue, Scarlet udah enteng banget. Tapi, kalo beberapa hari berturut-turut nggandulin bahu gue, pegel juga, pastinya. Habis, gimana, dong? Kebutuhan, sih. Demi skripsi dan nyari ide buat novel baru. Ditambah lagi, my little Bluebell, connection-nya suka ngadat. Yah, Scarlet-lah tumpuan kepuasan gue. I love her, by the way!

Curiganya, semua pegel-pegel dan bengkak-bengkak yang lagi gue alami ini adalah kontribusi tunggal dari faktor U: usia. Tapi, akhir April nanti, gue baru mau akan memasuki tahun ke-26 dalam hidup gue, yang artinya umur gue akan jadi 25 (and proud!) Nggak ngerti, deh! Bingung memikirkan usia dan kemampuan fisik yang berbanding terbaik ini.

Jumat, 06 Februari 2009

skripsi vs fiksi

Ima Marsczha loves writing! Gue merasa bisa jauh lebih jujur ketika gue menggunakan media tulisan untuk mengungkapkan isi hati gue. Tapi, entah kenapa, gue nggak bisa menyelesaikan skripsi gue dengan baik. Kenyataannya, gue menyelesaikan kuliah pada waktu yang tepat. Tapi, skripsi gue doang, nih, yang akhirnya jadi berlarut-larut sampai sekarang, kira-kira empat tahun berlalu.

Gue cukup bangga mengetahui tulisan gue, The Devil Loves Cinnamon, dianggap cukup layak untuk dijual. Tapi, gue juga ngerasa malu karena belum juga bisa menyusul temen-temen seumuran gue dalam bidang akademis. Mereka udah pada mau memetik gelar sarjana yang kedua. Sedangkan gue? Satu pun belum. *sigh!*

Masih jelas dalam ingatan gue. Masuk ke tahun kedua perjuangan gue memetik gelar, nyokap gue adalah orang yang paling kelihatan gelisah. Salah satunya, mungkin, karena adek gue yang kuliah di ITB menyuarakan kekhawatirannya. Intinya, nyokap gue mulai sering menanyakan, menyuruh, sampai memohon supaya gue menyelesaikan si skripsi. Tapi, gue bergeming. Antara putus asa, bosan, dan muak, gue berusaha sejarang mungkin menyentuh-nyentuh skripsi. Pertanyaan, makian sampai permohonan nyokap gue cuma masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Gue berubah jadi anak durhaka.

Juli 2008 lalu, gue menerima kabar baik bahwa naskah novel gue diterima oleh GagasMedia dan masuk ke tahap editing. Kabar baik ini pun gue sampaikan sambil sombong kepada nyokap dan adek2 gue. Mereka bahagia, tentunya. Dan, langsung minta traktiran. Perjalanan dari kabar baik itu, meski tidak mudah, tapi toh akhirnya sampai peluncuran di Januari 2009 ini.

Perubahan baik yang gue dapat dari peluncuran itu bukan hanya dari sisi finansial, dimana akhirnya gue punya sumber penghasilan sendiri. Tapi, juga dari hal lain. Gue menyadari bahwa nyokap gue sudah tidak pernah lagi memohon, menyuruh, bahkan menanyakan soal skripsi. Bahkan, ketika suatu pagi gue menelpon beliau jam tujuh pagi dan mengadu bahwa gue terbangun dan nggak bisa tidur lagi, nyokap malah nyuruh gue menulis novel baru, yang btw baru sampai tahap ide. Menurut gue ini adalah suatu terobosan besar. Soalnya, waktu nulis The Devil Loves Cinnamon aja, gue harus ngumpet-ngumpet bahkan pake bohong segala sama nyokap.

Nyokap gue udah nggak pernah lagi menyinggung-nyinggung soal skripsi. Yang gue heran, keinginan untuk menulis lagi malah muncul dari dalam hati gue sendiri. Baru mulai bulan ini, sih, gue mulai semangat lagi! Bahkan, gue berhasil menyelesaikan file excel gue, yang memungkinkan nilai-nilai yang gue butuh muncul secara otomatis begitu memasukkan data input, hanya dalam dua jam saja! Padahal, berbulan-bulan kemaren, gue sampe eneg mikirin formula yang tepat tapi nggak ketemu juga.

Huh! Intinya, apa pun yang kita kerjain, kalo dikerjain pake hati, emang jadinya guampaaaaaaaang buangeeeeeet!